![]() |
CERITA PENDEK – Untukmu yang Tak Sempat Kulumukuk ilustrasi foto pixabay.com |
Malam itu, kota terasa seperti menahan napasnya sendiri. Jalanan yang biasanya riuh mendadak lengang, dan angin membawa aroma tanah basah yang membuatku ingin kembali pada kenangan—kenangan tentang aku, kau, dan dia.
Namaku Raka, dan kau… kau adalah satu-satunya nama yang selalu menggema di batinku sejak hari pertama kita bertemu. Tapi takdir, seperti biasa, selalu memiliki cara mengiris paling halus pada sesuatu yang paling kita cintai.
Aku masih ingat pertama kali bertemu denganmu di bawah lampu jalan yang temaram. Kau berdiri sambil menatap layar ponsel, seolah dunia sedang mengejarmu. Saat aku mendekat, kau menoleh dan tersenyum—senyum tipis yang membuat jantungku berdetak seperti hujan pertama yang menghantam jendela.
“Kau terlihat bingung… ada yang kaucari?” tanyaku waktu itu.
Aku tak mengerti apa maksudmu, tapi sejak malam itu aku tahu: hatiku memilihmu bahkan sebelum sempat kupahami.
Namun, saat cinta mulai tumbuh, dia datang—Dion, sahabatku sejak kecil. Sosok yang selalu menjadi cahaya bagi banyak orang, termasuk dirimu.
Hari itu, kita bertiga duduk di kafe kecil di sudut kota. Kau duduk di antara kami, dan aku melihat bagaimana matamu sering mencuri pandang ke arahnya. Kau pikir aku tak menyadarinya, tapi cinta… cinta membuat seseorang peka pada hal-hal yang ingin ia abaikan.
“Kau baik, Raka. Tapi Dion… dia seperti rumah.”
Kau mengucapkannya pelan pada suatu sore, suara yang lirih namun melukai lebih tajam daripada pisau.
Aku menelan ludah dengan susah. “Kalau begitu, aku apa?”
Kalimat itu membunuhku perlahan.
Dan sejak hari itu, cinta yang seharusnya tumbuh menjadi sesuatu yang lembut malah menjelma menjadi labirin rumit—labirin yang dipenuhi kecemburuan, ketakutan, dan langkah-langkah yang menuntun pada tragedi.
Waktu berjalan, dan aku melihat bagaimana kau semakin tenggelam dalam bayang-bayang Dion. Kalian sering bertemu tanpa memberitahuku. Kadang aku sengaja berjalan melewati taman kota hanya untuk melihat kalian tertawa bersama, membuatku bertanya-tanya apakah aku sedang menjadi aktor tambahan dalam cerita yang kuanggap milikku.
Suatu malam aku memintamu datang ke rumah. Hujan turun deras, dan kau datang dengan payung kecil berwarna biru.
“Ada apa? Kau terlihat gelisah.”
Kau tak menjawab. Dan diam adalah bentuk pengakuan paling menyakitkan yang pernah kuterima.
Aku menahan napas sebelum berkata, “Kalau kau memang mencintainya, katakan. Jangan biarkan aku bertahan pada harapan yang sudah mati.”
Di tengah percakapan kita malam itu, hujan seolah menangis untuk kita. Dan di sela percakapan, aku sempat membisikkan puisi kecil—puisi yang tak pernah sempat kupublikasikan.
“Kau adalah nyala dalam sunyiku,
tapi kini apiku padam di telapak tanganmu.”
Kau hanya memejamkan mata, seakan puisi itu adalah kunci terakhir yang ingin kau simpan tapi tak bisa kau jaga.
Tragedi itu bermula seminggu setelahnya.
Nada pesannya dingin. Dan karena aku tahu dia telah mengetahui perasaanku padamu, aku datang dengan dada penuh badai.
Di jembatan tua itu, ia sudah menunggu. Wajahnya serius, dan matanya menunjukkan rasa bersalah yang berusaha ia sembunyikan.
“Raka… dia memilihku. Aku harap kau bisa menerima itu.”
Dion melangkah mendekat, mencoba meraih bahuku. “Kita sahabat. Ini tidak seharusnya menjadi perang.”
Tapi di kepala, kata perang sudah mengakar.
Mungkin malam itu aku terlalu gelap, atau dunia terlalu kejam. Atau mungkin cinta yang tak berbalas membuat seseorang kehilangan kewarasan.
Yang kuingat hanyalah tatapan Dion yang terkejut saat tangan ini mendorongnya.
Suaramu bergetar, dan hatiku ikut retak. Aku ingin memelukmu, ingin menenangkanmu, ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi kebohongan adalah dosa yang setelah satu langkah, tak bisa dihentikan.
Di sela isakmu, kau melantunkan kalimat yang membuat dadaku kembali teriris.
“Seandainya aku bisa memilih ulang,
mungkin aku akan memilihmu…”
Beberapa hari kemudian, mayat Dion ditemukan. Wajahnya pucat, tubuhnya terbawa arus jauh ke hilir sungai.
Kau menangis histeris saat melihatnya. Dan aku… aku berdiri di belakangmu, di antara rasa bersalah dan cinta yang tak pernah sempat terwujud.
“Raka… kalau saja malam itu aku bersamanya…”
Kadang, aku berdiri di jembatan itu lagi, menatap arus air yang terus mengalir. Di sana, aku berbisik pada malam:

Komentar
Posting Komentar