Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label contohpuisi

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

"Kupikir Dia Sahabatku, Ternyata Dia Mengandung Anak Suamiku"

  "Kupikir Dia Sahabatku, Ternyata Dia Mengandung Anak Suamiku" Ilustrasi gambar by bola.com Hujan turun deras sore itu, menyelimuti rumahku dengan suara rintik yang menusuk telinga. Aku duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu yang tak juga diketuk siapa pun. Hati kecilku sudah lama berteriak, ada sesuatu yang salah dengan rumah tanggaku. Suamiku, Arman, kerap pulang larut, dengan alasan rapat, pekerjaan, atau sekadar “tanggung jawab.” Tapi yang paling membuatku resah adalah bayangan wajah sahabatku sendiri, Dina. Ya, Dina. Sahabat yang selalu ada saat aku jatuh, yang mendengarkan setiap keluh kesahku tentang rumah tangga, yang kupikir tulus menjadi tempat bersandar. Hingga hari itu, aku mendengar kabar yang merobek hatiku. “Aku harus bicara sama kamu, Ra,” suara lirih Dina saat kami bertemu di kafe kecil dekat taman. Wajahnya pucat, matanya sembab. Tangannya gemetar menggenggam cangkir teh yang belum disentuh. “Ada apa, Din? Kamu sakit? Kamu bisa cerita ke aku,...

Puisi:Aku Menunggu di Senja, Tapi Kau Pulang Bersama Namanya

  Puisi:Aku Menunggu di Senja, Tapi Kau Pulang Bersama Namanya Senja kembali meneteskan jingga di langit, dan aku masih duduk di bangku yang sama, menunggu bayanganmu yang pernah berjanji akan kembali membawa cinta. Aku menatap lurus pada jalan yang lengang, membayangkan langkahmu menghampiriku. Tapi yang datang hanyalah kabar pahit: kau pulang, bukan padaku, melainkan pada namanya yang kau sebut di bibir. Hatiku retak, tapi tetap berharap, seolah menunggu hujan yang tak pernah tiba. Setiap warna senja kini terasa asing, karena di dalamnya aku hanya menemukan kehilangan. Aku menunggumu dengan seluruh rindu, namun rinduku tak kau bawa pulang. Kau pilih senja lain, kau pilih nama lain, dan aku tertinggal sebagai bayangan yang perlahan hilang ditelan malam.

Puisi:Cinta yang Kutabur, Hanya Menjadi Luka di Pelukanmu

  Puisi:Cinta yang Kutabur, Hanya Menjadi Luka di Pelukanmu pngtree.com Aku pernah menanam cinta di matamu, dengan harapan ia tumbuh menjadi taman bahagia. Setiap senyumku, setiap pelukanku, adalah benih yang kutabur dengan sepenuh jiwa. Namun yang lahir bukan bunga, melainkan duri yang melukai tanganku sendiri. Kau genggam hatiku seolah merawatnya, padahal diam-diam kau sisipkan luka di antara jemari kita. Aku mencintaimu dengan sepenuh keyakinan, tapi cintaku hanya menjadi air mata yang mengalir di pelukanmu, pelukan yang tak lagi hangat, pelukan yang hanya menyisakan perih. Kini aku tahu, tak semua yang kita tanam akan berbunga. Ada yang layu, ada yang berubah jadi luka, meski ditumbuhkan dengan cinta paling tulus.

Puisi:Kau Pergi, Tapi Namamu Masih Menetap di sini

Puisi:Kau Pergi, Tapi Namamu Masih Menetap di sini freepik.com   Kau pernah datang dengan senyum sederhana, membawa hangat yang tak mampu dilawan oleh dinginnya malam. Aku menaruh percaya, menaruh cinta, di sela detik yang perlahan berubah jadi harapan. Namun kini, langkahmu menjauh. Suaramu hanya gema yang tersisa di sudut ingatan. Aku menatap jalan yang pernah kita lalui, dan setiap bayanganmu masih menempel di dinding hatiku. Kau pergi, tapi namamu tak pernah ikut bersama langkahmu. Ia tertinggal di dadaku, berdenyut bersama setiap helaan napas, menjadi luka yang indah, sekaligus doa yang tak selesai. Jika suatu hari kau kembali membaca mataku, kau akan tahu, aku masih menyebut namamu meski hanya dalam diam yang bergetar.

Cinta Diam-Diam di Balik Layar Chat: Aku, Kau, dan Rahasia yang Tak Terucap

  Cinta Diam-Diam di Balik Layar Chat: Aku, Kau, dan Rahasia yang Tak Terucap ilutrasi foto by pixbay.com Malam itu layar ponselku kembali berpendar, memantulkan cahaya biru yang menusuk mata. Notifikasi dari namamu muncul. Hanya sebuah pesan singkat: “Kamu lagi apa?” Seolah sederhana, tapi pesan itu selalu membuat dadaku bergetar. Jari-jariku bergetar menekan tombol balas. “Aku lagi mikirin kamu,” ketikku, lalu kuhapus cepat-cepat, menggantinya dengan, “Aku lagi baca buku.” Aku takut. Takut perasaan ini ketahuan, takut rahasia yang sudah lama kusimpan pecah begitu saja. “Di balik layar biru ini, aku menyembunyikan rindu yang nyeri. Kata-kata kutahan mati-matian, padahal hati ingin berteriak tanpa ampun.” Kamu membalas dengan cepat. “Buku apa? Jangan-jangan buku buat curhatin aku ya?” Aku tersenyum kecut. Kamu selalu bercanda, selalu ringan, seakan semua hal bisa ditertawakan. Padahal bagiku, setiap pesanmu adalah ancaman: aku bisa jatuh lebih dalam lagi. “Buku tent...

Kita Bertemu di Senja, Tapi Kau Pergi Saat Fajar Menyapa

  Ilustrasi foto Kita Bertemu di Senja, Tapi Kau Pergi Saat Fajar Menyapa Senja itu datang dengan warna jingga yang mengguncang hatiku. Aku berdiri di tepi pantai, angin laut membawa aroma asin yang menusuk, tapi lebih menusuk lagi adalah kehadiranmu. Kamu berjalan pelan dari arah dermaga, rambutmu menari diterpa angin, wajahmu tenang namun menyimpan sesuatu yang membuatku gelisah. “Kamu datang juga,” kataku, berusaha menahan getar suara. Kamu tersenyum samar, sebuah senyum yang seolah dipaksa lahir dari bibir yang enggan. “Aku janji, kan? Aku harus menepatinya.” Aku menatapmu lekat, menahan desakan perasaan yang ingin meledak. Selama ini aku menunggumu, mengira pertemuan kita akan menghapus jarak, menghapus luka. Tapi entah kenapa, di balik senja ini, aku merasakan ancaman kehilangan yang begitu dekat. “Senja memeluk langit, seperti aku memeluk harap. Tapi apa gunanya, jika harap itu hanyalah bayangan yang rapuh?” Aku duduk di pasir, menepuk tempat di sampingku. K...

Puisi: Gadis Senja Siti Puji Astutik

ilustrasi Puisi: Gadis Senja Siti Puji Astutik_xni Di tepi senja yang merona jingga, kulihat engkau, Siti Puji Astutik, berdiri dengan tatapan yang dalam, seolah mencari jejak cinta sejati yang masih tersembunyi di antara awan. Langkahmu lembut, tapi hatimu gelisah, kau menanti seseorang yang belum tentu tiba, seperti burung yang terus terbang mengejar cahaya terakhir sebelum malam. Aku ingin berkata padamu, bahwa dunia ini memang panas, terlalu terik , namun untukmu yang terlalu cantik , setiap keringat menjadi puisi, setiap luka berubah menjadi rindu. Siti, gadis senja yang menawan, biarlah aku yang menemanimu mencari, agar cinta sejati tak lagi hanya mimpi, tapi nyata dalam dekap yang abadi.

Kupeluk Dia Saat Hujan, Tapi Namaku Tak Pernah Ada di Doanya

  ilustrasi foto_Kupeluk Dia Saat Hujan, Tapi Namaku Tak Pernah Ada di Doanya Cerpen Romantis oleh Fiqi Andre Hujan sore itu turun tanpa permisi. Rintiknya deras, seolah ingin menyapu jejak langkah yang pernah kami buat bersama. Di halte kecil yang sudah lapuk oleh waktu, aku berdiri sambil memeluk tubuhku sendiri. Bukan karena dingin, tapi karena dia belum juga datang. Namanya Asha. Perempuan yang membuatku percaya bahwa cinta tidak selalu harus dibalas untuk bisa hidup. Kami berteman sejak SMA. Ia ceria, penuh tawa, dan selalu punya cerita lucu setiap hari. Sedangkan aku? Hanya bayangan setia di belakangnya. Menjadi pendengar, penonton, dan pelindung diam-diam saat dunia terlalu kejam padanya. “Aku putus lagi, Ki,” katanya dulu, di halte yang sama, di bawah hujan yang juga sama. Waktu itu, ia menangis di pundakku. Aku tidak berkata apa-apa, hanya membiarkannya menumpahkan semua air matanya di jaket lusuhku. “Aku bodoh, ya?” “Enggak. Kamu cuma terlalu percaya,” jawabku lirih...

"Senja dan Kerudung Merahmu"

  puisi romantis_"Senja dan Kerudung Merahmu" Di ujung langit, mentari menggantung malu-malu, melukis jingga di permukaan langit yang berdoa, dan di sanalah aku pertama kali melihatmu— Siti Puji Astukik, gadis berkerudung merah yang datang seperti doa yang tak pernah selesai kusebutkan namanya. Langkahmu lembut seperti desir angin sore, dan matamu, ah matamu… merekah teduh seperti langit yang tak ingin gelap. Kerudung merahmu menari pelan menjadi bendera sunyi yang menggetarkan dada. Siti, tahukah kau, senja menjadi tempat paling setia kutitipkan rindu? Pada setiap langit merahnya, ada namamu yang kusisipkan dalam bait-bait puisi, ada wajahmu yang kupahat dalam detak jantung yang tak tahu caranya berhenti saat kau tersenyum. Aku mencintaimu dengan tenang, seperti laut mencintai langit, tak pernah bersentuhan, tapi saling menunggu senja. Aku mencintaimu diam-diam, seperti bayangan mencintai cahaya, selalu ada, tapi tak pernah bisa mengakuinya. Siti Puji Astukik, engkau bu...

"Gadis Senja: Peluk yang Tak Pernah Usai"

"Gadis Senja: Peluk yang Tak Pernah Usai" gadis senja puisi ini tercipta dari ilustrasi siti yang sedng bersanding di antara gelapnya malam Kau datang bersama jingga yang jatuh pelan di langit barat, membawa wajah yang lebih indah  dari segala yang pernah kulihat. Langkahmu lembut menapak tanah, seakan bumi pun bersyukur kau hadir, dan aku, lelaki yang hanyut dalam detik, hanya bisa menatap—gemetar, tanpa kendali. Kau gadis senja, yang membuat matahari rela perlahan turun demi menatapmu lebih lama. Angin berhenti berhembus, burung-burung pun memilih diam, karena tak ada nyanyian yang bisa menyaingi bisikanmu. Kata-katamu tak pernah keluar dari bibir, tapi getarnya sampai ke dasar dadaku. Tiap lirikanmu membuat detak jantungku menjadi gila, dan senyummu—astaga, senyummu itu seperti jampi, yang membuatku tak tahu mana nyata, mana mimpi. Dalam warna langit yang mulai kelam, akulah lelaki yang rela menjadi bayang-bayangmu, menemanimu meski tanpa sentuhan, menyayangimu meski t...

Puisi:"Langkah dan Rindumu di Punggungan Cinta"

Langkah-langkahmu menapaki jalur tanah basah, di antara akar-akar yang menggeliat  seperti rindu yang tak pernah patah. Kau di depan, membawa tas berisi logistik dan mimpi, aku di belakang, membawa hati yang sejak  awal ingin tinggal di dekapanmu lagi. Angin menyapu rambutmu pelan, seperti alam tahu bahwa aku diam-diam sedang jatuh perlahan. Kabut turun, menyelimuti jalur pendakian, namun  tak pernah bisa menyelimuti perasaanku  yang kian terang dalam keremangan. Kita duduk di sebuah batu besar, melepas lelah sambil berbagi coklat  dan cerita yang hambar jadi mekar. Kau tertawa, dan di sela-sela  napasmu yang lelah, ada doa yang tak kau ucapkan tapi aku  tangkap dengan indra  yang lebih peka dari telinga. Mencintaimu  di jalur pendakian seperti mencintai semesta, penuh tantangan, tapi aku ingin terus naik ke puncaknya. Meski kadang langkahmu lebih cepat, aku selalu tahu, kau akan berhenti  dan menungguku di tikungan  yang sunyi...

Cerita pendek :Cinta dalam Gelap Mata

  ilustrasi foto Cerita pendek :Cinta dalam Gelap Mata Aku tak bisa melihat sejak usia delapan. Dunia ini gelap. Tapi saat dia datang, aku merasa cahaya punya cara lain untuk menyapa: lewat suara, lewat aroma tubuh, lewat desir napas yang membuat dada terasa penuh. Namanya Rayhan. Dia datang ke hidupku saat aku hampir menyerah pada dunia yang tak pernah bersinar. Rayhan bukan sekadar kekasih. Ia penuntun. Ia mata untuk jiwaku. Kami bertemu di taman terapi. Tangannya lembut menggandengku ke bangku kayu, dan suaranya selalu memanggil namaku seolah aku adalah melodi yang ia hafal di luar kepala. “Aku tak peduli matamu buta, karena aku ingin menjadi cahaya di tiap langkahmu,” bisiknya, suatu malam saat hujan turun lembut di atap rumahku. Aku tersenyum, memeluk kata-katanya seperti selimut tipis di malam dingin. Cinta kami tumbuh dalam ruang-ruang sunyi, di balik sentuhan dan napas yang saling mencari. Tidak semua orang mengerti. Tapi aku percaya: “Cinta bukan perkara ...

Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh

Ilustrasi foto Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh by pn gtree.com Aku mengingat betul malam itu. Hujan turun rintik, suara gerimis memukul-mukul atap seng kos nomor tujuh. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyatu menjadi kabut yang menyesakkan dada. Di kamarku, satu lampu kuning menggantung lesu, seperti nyawaku sendiri yang tinggal satu nyala tipis. Namaku Nadira. Aku sudah lima bulan menjalani hubungan jarak jauh dengan Arya, lelaki yang katanya mencintaiku sepenuh jiwa. Kami bertahan lewat janji, tawa virtual, dan puisi yang kami kirimkan tiap malam.....: “Aku percaya pada rindu, meski ia tak bertulang, karena setiap malam ia memelukku lebih erat dari manusia.”   Tapi ternyata, cinta yang jauh bukan sekadar rindu dan kata-kata. Ada sesuatu yang lebih jahat dari jarak: pengkhianatan. Hari itu, aku pulang lebih cepat dari kerja. Kos sunyi, hanya suara gemeretak hujan yang menemani. Saat membuka pintu kamarku, kulihat sepasang sepatu yang kukenal: sep...

Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi

Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi_ ilustrsi foto by  Triptrus.com Catatan Kritis Tentang Keindahan yang Terluka Gunung Rinjani bukan sekadar gunung bagi masyarakat Lombok—ia adalah napas, marwah, dan cermin kehidupan. Dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Rinjani berdiri gagah sebagai gunung tertinggi kedua di Indonesia. Ia bukan hanya tujuan pendakian, tetapi juga destinasi rohani, tempat suci bagi umat Hindu, dan bentang alami yang membawa siapapun yang melihatnya pada perenungan yang dalam. Namun, di balik keelokan panorama sabana, danau Segara Anak yang biru kehijauan, serta cahaya mentari yang menyentuh lembut punggung gunung, ada luka-luka yang tak terlihat. Luka karena keserakahan manusia, luka karena keindahan yang terlalu sering dimanfaatkan tanpa tanggung jawab. "Kau bukan sekadar tanah tinggi, Rinjani. Kau adalah puisi yang mengalir di dahi pagi. Namun kini, langitmu mengabur oleh jejak-jejak tamak, dan bisik anginmu tercekik aroma pla...

Puisi :Gadis Berselendang Merah

Di ujung senja yang malu-malu di antara desir angin dan rinduku yang membatu, kulihat kau berjalan perlahan, gadis berselendang merah, laksana doa yang dikirim langit lalu dijelmakan menjadi jelita yang menapaki bumi dengan cahaya di mata. Langkahmu seirama puisi, lembut, penuh arti, seakan semesta diam memandang dan waktu pun takut berdetak. Wajahmu bukan sekadar cantik, tapi candu yang menenangkan, mata beningmu menampung cahaya langit, dan senyummu—oh, senyummu— adalah nyanyian yang bahkan burung pun ingin belajar menyanyikannya. Kau duduk di bangku taman, di bawah langit berwarna keemasan, selendang merahmu menari ditiup angin, seperti bendera cinta yang berkibar di kerajaan hatiku yang lama tak bertuan. Aku, yang selama ini hanya menatap dari kejauhan, hanyut dalam bayangmu yang memabukkan, mencari keberanian dalam diam, menggenggam getar dalam dada yang sempit oleh harap. Andai aku bisa bicara pada langit, akan kupinta malam jangan cepat datang agar aku bisa lebih lama memandangm...

Puisi Romantis:Untukmu, Siti Puji Astutik, Wanita Bermata Bintang

Ilustrasi foto _Puisi Romantis:Untukmu, Siti Puji Astutik, Wanita Bermata Bintang Untukmu, Siti Puji Astutik, namamu seperti mantra yang kupeluk di dada malam, mengalir dalam nadi, menjelma bisikan tenang di antara ribuan detak waktu yang berisik dan retak. Kau wanita dengan mata berbinar, seperti gugusan bintang yang menolak padam— matamu tak sekadar menatap, tapi menuliskan puisi di ruang-ruang sunyi yang kusembunyikan. Dalam tiap senyummu, ada gugur hujan yang memilih jatuh perlahan di pelataran hatiku, lembut, tapi pasti menumbuhkan rindu seperti tunas kecil yang tak bisa lagi kubendung tumbuhnya. Kau bukan hanya cantik, kau adalah definisi dari sabar yang berjalan, dari luka yang memilih bangkit, dan cinta yang tak pernah meminta balas tapi selalu memberi cahaya. "Kau bukan hanya puisi, tapi pena yang menuliskannya. Bukan hanya malam, tapi rembulan yang memeluk gelapnya." Siti, jika dunia pernah mengecewakanmu, biarkan aku menjadi taman tempat kau berpijak, di m...

Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kafe Tepi Kota

Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kafe Tepi Kota Ilustrasi gambar ragambola.com Cerita pendek oleh: Fiqi Andre Hujan turun seperti rahasia yang tak sempat diceritakan. Langit kelabu memayungi jalanan kecil menuju kafe tua di pinggiran kota. Di sanalah aku duduk—sendiri, menggenggam cangkir yang sejak tadi dingin, menunggu seseorang yang sempat kutinggalkan dalam cerita yang tidak selesai. Namanya Dira. Dulu kami menyebut pertemuan sebagai takdir. Tapi sekarang, mungkin takdir hanya sedang mempermainkan waktu. Sudut kafe ini tak berubah sejak lima tahun lalu. Dinding bata yang retak-retak masih ditemani lampu gantung kuning redup. Aroma kopi dan tanah basah mengambang di udara, menyatu dengan degup jantungku yang terlalu keras untuk kupahami. Dan di sanalah dia datang—melangkah pelan, mengenakan jaket abu-abu yang sama seperti malam terakhir kami bertengkar. "Sudut ini masih hangat, ya?" katanya sambil menarik kursi, duduk tepat di hadapanku. Lalu ia berbisik pelan, ...