![]() |
Cinta Diam-Diam di Balik Layar Chat: Aku, Kau, dan Rahasia yang Tak Terucap ilutrasi foto by pixbay.com |
Malam itu layar ponselku kembali berpendar, memantulkan cahaya biru yang menusuk mata. Notifikasi dari namamu muncul. Hanya sebuah pesan singkat:
“Kamu lagi apa?”
Seolah sederhana, tapi pesan itu selalu membuat dadaku bergetar. Jari-jariku bergetar menekan tombol balas.
“Aku lagi mikirin kamu,” ketikku, lalu kuhapus cepat-cepat, menggantinya dengan, “Aku lagi baca buku.”
Aku takut. Takut perasaan ini ketahuan, takut rahasia yang sudah lama kusimpan pecah begitu saja.
“Di balik layar biru ini,
aku menyembunyikan rindu yang nyeri.
Kata-kata kutahan mati-matian,
padahal hati ingin berteriak tanpa ampun.”
Kamu membalas dengan cepat.
“Buku apa? Jangan-jangan buku buat curhatin aku ya?”
Aku tersenyum kecut. Kamu selalu bercanda, selalu ringan, seakan semua hal bisa ditertawakan. Padahal bagiku, setiap pesanmu adalah ancaman: aku bisa jatuh lebih dalam lagi.
“Buku tentang perjalanan,” balasku singkat.
Kamu mengirim stiker wajah tersenyum.
“Kayak kita ya, perjalanan yang nggak pernah jelas ujungnya.”
Aku terdiam lama. Kau mungkin bercanda, tapi kata-katamu seperti pisau. Perjalanan kita memang tak jelas ujungnya.
Beberapa hari berlalu, dan malam itu lagi-lagi kita tenggelam dalam percakapan panjang. Kamu cerita tentang hidupmu, tentang dia—seseorang yang menjadi pasanganmu di dunia nyata. Aku hanya bisa mendengar, memberi saran, sambil menelan perih yang tak pernah kamu tahu.
“Aku capek sama dia,” katamu malam itu.
Aku menggertakkan gigi. “Kalau capek, kenapa nggak berhenti saja?” tanyaku, mencoba terdengar netral.
Kamu membalas cepat.
“Aku nggak bisa. Tapi entah kenapa aku selalu nyaman cerita ke kamu. Rasanya… beda.”
Dadaku seketika sesak. Kata-kata itu seperti hadiah sekaligus kutukan. Aku ingin menjawab jujur, ingin berkata bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku hanya bisa menulis:
“Ya, mungkin aku memang pendengar yang baik.”
“Kau datang mengetuk malamku,
tapi pergi saat fajar membawanya padamu.
Aku hanyalah ruang singgah,
bukan rumah tempat kau pulang.”
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Chat kita semakin intens, semakin dekat, semakin berbahaya. Aku merasa seolah-olah kita punya dunia sendiri, dunia yang tidak diketahui siapa pun.
Namun, semakin dekat, semakin besar pula ketakutanku. Apa jadinya kalau suatu hari rahasia ini terbongkar?
Suatu malam, kamu mengirim pesan yang membuat jantungku nyaris berhenti.
“Aku nggak tahu harus bilang ke siapa. Tapi aku… aku jatuh cinta sama kamu.”
Aku menatap layar ponselku lama sekali. Rasanya seperti mimpi. Kata-kata itu, yang selama ini aku pendam, ternyata keluar dari bibirmu lebih dulu.
Tanganku gemetar menulis balasan. “Kamu serius?”
Kamu menjawab singkat.
“Iya. Tapi aku juga takut.”
Aku memejamkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh. Aku tahu kita sedang berjalan di tepian jurang. Satu langkah salah, segalanya akan runtuh.
“Cinta ini rahasia,
yang bersembunyi di balik kata.
Jika dunia tahu,
mungkin kita hanya jadi abu.”
Aku mengetik:
“Aku juga cinta kamu. Dari dulu. Tapi kita harus gimana? Kamu sudah punya dia.”
Beberapa menit tidak ada balasan. Detik terasa seperti jam. Lalu akhirnya muncul pesan darimu.
“Aku juga bingung. Tapi aku nggak bisa lagi pura-pura. Aku butuh kamu.”
Sejak malam itu, semuanya berubah. Chat kita tak lagi hanya sekadar tawa, tapi juga penuh rindu, janji, bahkan doa yang terlarang. Kita tahu ini salah, tapi hati terlalu keras kepala.
Namun kebahagiaan itu singkat. Suatu malam, kamu menulis pesan panjang.
“Dia mulai curiga. Dia lihat chat kita. Aku harus berhenti dulu, jangan chat aku beberapa hari.”
Aku merasa dadaku diremas. “Jangan tinggalin aku begitu saja,” balasku cepat.
Kamu hanya membalas:
“Aku janji balik. Tunggu aku.”
Dan setelah itu, sepi.
Hari berganti, notifikasi tak kunjung muncul. Malam-malamku kosong, tanpa cahaya layar biru darimu. Aku menunggu, menunggu, menunggu, sampai akhirnya aku sadar: mungkin janji itu hanya tinggal janji.
“Aku menulis rindu di layar,
tapi tak ada lagi yang membalas.
Kau hilang ditelan ketakutan,
meninggalkan aku bersama rahasia yang tak terucap.”
Aku masih menggenggam ponsel setiap malam, menunggu namamu muncul lagi. Tapi yang tersisa hanya senyap. Dan aku tahu, cinta diam-diam kita berakhir bukan karena kita tak saling mencinta, tapi karena dunia terlalu kejam untuk memberi ruang bagi cinta yang tak semestinya.
Komentar
Posting Komentar