Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Cinta Diam-Diam di Balik Layar Chat: Aku, Kau, dan Rahasia yang Tak Terucap

 

Cinta Diam-Diam di Balik Layar Chat: Aku, Kau, dan Rahasia yang Tak Terucap
ilutrasi foto by pixbay.com


Malam itu layar ponselku kembali berpendar, memantulkan cahaya biru yang menusuk mata. Notifikasi dari namamu muncul. Hanya sebuah pesan singkat:

“Kamu lagi apa?”

Seolah sederhana, tapi pesan itu selalu membuat dadaku bergetar. Jari-jariku bergetar menekan tombol balas.

“Aku lagi mikirin kamu,” ketikku, lalu kuhapus cepat-cepat, menggantinya dengan, “Aku lagi baca buku.”

Aku takut. Takut perasaan ini ketahuan, takut rahasia yang sudah lama kusimpan pecah begitu saja.

“Di balik layar biru ini,
aku menyembunyikan rindu yang nyeri.
Kata-kata kutahan mati-matian,
padahal hati ingin berteriak tanpa ampun.”

Kamu membalas dengan cepat.
“Buku apa? Jangan-jangan buku buat curhatin aku ya?”

Aku tersenyum kecut. Kamu selalu bercanda, selalu ringan, seakan semua hal bisa ditertawakan. Padahal bagiku, setiap pesanmu adalah ancaman: aku bisa jatuh lebih dalam lagi.

“Buku tentang perjalanan,” balasku singkat.

Kamu mengirim stiker wajah tersenyum.
“Kayak kita ya, perjalanan yang nggak pernah jelas ujungnya.”

Aku terdiam lama. Kau mungkin bercanda, tapi kata-katamu seperti pisau. Perjalanan kita memang tak jelas ujungnya.


Beberapa hari berlalu, dan malam itu lagi-lagi kita tenggelam dalam percakapan panjang. Kamu cerita tentang hidupmu, tentang dia—seseorang yang menjadi pasanganmu di dunia nyata. Aku hanya bisa mendengar, memberi saran, sambil menelan perih yang tak pernah kamu tahu.

“Aku capek sama dia,” katamu malam itu.

Aku menggertakkan gigi. “Kalau capek, kenapa nggak berhenti saja?” tanyaku, mencoba terdengar netral.

Kamu membalas cepat.
“Aku nggak bisa. Tapi entah kenapa aku selalu nyaman cerita ke kamu. Rasanya… beda.”

Dadaku seketika sesak. Kata-kata itu seperti hadiah sekaligus kutukan. Aku ingin menjawab jujur, ingin berkata bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku hanya bisa menulis:

“Ya, mungkin aku memang pendengar yang baik.”

“Kau datang mengetuk malamku,
tapi pergi saat fajar membawanya padamu.
Aku hanyalah ruang singgah,
bukan rumah tempat kau pulang.”


Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Chat kita semakin intens, semakin dekat, semakin berbahaya. Aku merasa seolah-olah kita punya dunia sendiri, dunia yang tidak diketahui siapa pun.

Namun, semakin dekat, semakin besar pula ketakutanku. Apa jadinya kalau suatu hari rahasia ini terbongkar?

Suatu malam, kamu mengirim pesan yang membuat jantungku nyaris berhenti.
“Aku nggak tahu harus bilang ke siapa. Tapi aku… aku jatuh cinta sama kamu.”

Aku menatap layar ponselku lama sekali. Rasanya seperti mimpi. Kata-kata itu, yang selama ini aku pendam, ternyata keluar dari bibirmu lebih dulu.

Tanganku gemetar menulis balasan. “Kamu serius?”

Kamu menjawab singkat.
“Iya. Tapi aku juga takut.”

Aku memejamkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh. Aku tahu kita sedang berjalan di tepian jurang. Satu langkah salah, segalanya akan runtuh.

“Cinta ini rahasia,
yang bersembunyi di balik kata.
Jika dunia tahu,
mungkin kita hanya jadi abu.”

Aku mengetik:
“Aku juga cinta kamu. Dari dulu. Tapi kita harus gimana? Kamu sudah punya dia.”

Beberapa menit tidak ada balasan. Detik terasa seperti jam. Lalu akhirnya muncul pesan darimu.
“Aku juga bingung. Tapi aku nggak bisa lagi pura-pura. Aku butuh kamu.”

Sejak malam itu, semuanya berubah. Chat kita tak lagi hanya sekadar tawa, tapi juga penuh rindu, janji, bahkan doa yang terlarang. Kita tahu ini salah, tapi hati terlalu keras kepala.

Namun kebahagiaan itu singkat. Suatu malam, kamu menulis pesan panjang.

“Dia mulai curiga. Dia lihat chat kita. Aku harus berhenti dulu, jangan chat aku beberapa hari.”

Aku merasa dadaku diremas. “Jangan tinggalin aku begitu saja,” balasku cepat.

Kamu hanya membalas:
“Aku janji balik. Tunggu aku.”

Dan setelah itu, sepi.

Hari berganti, notifikasi tak kunjung muncul. Malam-malamku kosong, tanpa cahaya layar biru darimu. Aku menunggu, menunggu, menunggu, sampai akhirnya aku sadar: mungkin janji itu hanya tinggal janji.

“Aku menulis rindu di layar,
tapi tak ada lagi yang membalas.
Kau hilang ditelan ketakutan,
meninggalkan aku bersama rahasia yang tak terucap.”

Aku masih menggenggam ponsel setiap malam, menunggu namamu muncul lagi. Tapi yang tersisa hanya senyap. Dan aku tahu, cinta diam-diam kita berakhir bukan karena kita tak saling mencinta, tapi karena dunia terlalu kejam untuk memberi ruang bagi cinta yang tak semestinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...