Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi

Gambar
Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi_ ilustrsi foto by  Triptrus.com Catatan Kritis Tentang Keindahan yang Terluka Gunung Rinjani bukan sekadar gunung bagi masyarakat Lombok—ia adalah napas, marwah, dan cermin kehidupan. Dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Rinjani berdiri gagah sebagai gunung tertinggi kedua di Indonesia. Ia bukan hanya tujuan pendakian, tetapi juga destinasi rohani, tempat suci bagi umat Hindu, dan bentang alami yang membawa siapapun yang melihatnya pada perenungan yang dalam. Namun, di balik keelokan panorama sabana, danau Segara Anak yang biru kehijauan, serta cahaya mentari yang menyentuh lembut punggung gunung, ada luka-luka yang tak terlihat. Luka karena keserakahan manusia, luka karena keindahan yang terlalu sering dimanfaatkan tanpa tanggung jawab. "Kau bukan sekadar tanah tinggi, Rinjani. Kau adalah puisi yang mengalir di dahi pagi. Namun kini, langitmu mengabur oleh jejak-jejak tamak, dan bisik anginmu tercekik aroma pla...

Cerita Pendek: Juli yang Tak Pernah Menepati Janji

Ilustrasi fotoCerita pendek_ https://id.pngtree.com/freebackground/silhouette-of-a-woman-on-the-beach-in-the-morning_1704461.html



Namaku Arsha. Aku bukan siapa-siapa kecuali seseorang yang masih saja duduk di ujung senja, menanti sesuatu yang entah akan datang atau tidak. Barangkali aku gila, atau mungkin terlalu setia pada sesuatu yang bahkan tak pernah benar-benar jadi milikku: kamu.

Dan ini adalah Juli, bulan kesekian yang selalu membuat dadaku bergetar hanya karena satu nama—namamu.



Aku masih ingat pertemuan kita pertama kali. Di sudut taman kota, saat angin sore menyapu rambutku yang lepas dari ikatan. Kamu menyapaku, seolah kita sudah kenal sejak lama. Aku tersenyum kikuk, tapi diam-diam hatiku bergemuruh. Sejak saat itu, entah mengapa, kamu seperti musim yang tak bisa kutebak, tapi selalu kutunggu.

"Kamu suka Juli?" tanyamu waktu itu.

Aku mengangguk. "Karena Juli hangat. Tapi tak sepanas Agustus yang seringkali terlalu terburu-buru."

Kamu tertawa. Suaramu renyah seperti daun jatuh ke tanah yang kering. Dan sejak itulah, aku mulai menyimpan Juli sebagai bulan penuh makna—bulan yang kusebut sebagai permulaan rasa yang tak pernah selesai kutulis.


Sudah tiga Juli berlalu. Setiap tahun, aku menuliskan sesuatu untukmu. Bukan puisi, bukan cerita, hanya potongan harapan yang tak pernah kutunjukkan pada siapa-siapa. Kertas-kertas itu kusimpan di dalam kotak kayu tua peninggalan almarhum nenekku. Di atasnya, kutulis: "Untukmu yang tak tahu sedang kucintai dalam diam."

Juli ini, seperti sebelumnya, aku kembali duduk di bangku taman yang sama. Daun-daun sudah mulai menguning, dan angin membawa aroma tanah basah dari hujan semalam. Tapi kamu tidak datang. Lagi-lagi tidak datang.

Aku menyentuh bangku kosong di sampingku, dan entah kenapa, air mataku jatuh begitu saja. Bukan karena sedih, tapi lebih karena aku merasa bodoh—masih menunggu sesuatu yang bahkan tak pernah berjanji akan kembali.

“Aku masih di sini, tahu?” bisikku, seolah kamu bisa mendengar.

Padahal kamu entah di mana sekarang. Mungkin di kota lain. Mungkin sudah bersama perempuan lain. Atau mungkin, kamu memang tak pernah benar-benar ingin kembali sejak pergi tiga tahun lalu tanpa pamit.


Kadang aku bertanya, mengapa cinta harus selalu terasa seperti menunggu kereta yang tak punya jadwal pasti? Apakah semua gadis sepertiku harus belajar melepaskan tanpa sempat memiliki?

Dulu, kamu bilang, “Kalau takdir mengizinkan, kita akan bertemu lagi di bulan Juli nanti. Bulan yang kau bilang paling hangat.”

Dan aku menggenggam kalimat itu seperti menggenggam janji Tuhan. Padahal, kamu tak pernah menyebut tahun berapa. Tidak ada tanggal pasti. Hanya kata "nanti" yang menggantung seperti langit yang enggan turun hujan.

Tapi tahukah kamu, aku menunggu. Dengan segala bentuk kesabaran yang bahkan tak bisa dijelaskan oleh logika. Aku menolak ajakan kencan dari lelaki lain, hanya karena takut hatiku tidak utuh untuk mereka.


Hari ini tanggal 28 Juli. Tiga hari lagi bulan ini berakhir. Tiga hari lagi aku harus mengaku kalah pada waktu dan kenyataan. Aku berjalan menyusuri jalan pulang dari taman, melewati toko buku tempat kita pernah berdebat soal puisi Chairil Anwar. Mataku menangkap sekilas bayangan seseorang di seberang jalan. Siluet tubuhmu. Cara berdirimu. Jaket yang selalu kamu pakai saat malam turun.

Hatiku refleks berlari. Tapi saat aku sampai di sana, dia bukan kamu.

Untuk pertama kalinya, aku ingin marah. Pada Juli. Pada kamu. Pada diriku sendiri.

Tapi aku tidak bisa. Karena cinta, ketika benar-benar tumbuh, tidak lagi butuh alasan untuk setia. Ia hanya ada. Diam-diam. Dalam bentuk paling sederhana: penantian.


Malam ini aku membuka kotak kayu itu. Kubaca kembali tulisan-tulisan untukmu. Surat-surat yang tidak pernah kukirim. Dan akhirnya, kutulis satu lagi:



"Untukmu yang pernah berkata akan kembali,
Juli hampir usai.
Aku masih di sini, tapi hatiku tidak lagi.
Biarlah Juli kali ini menjadi penutup,
bukan awal yang selalu kupaksa percaya."

Lalu aku menutup kotak itu. Kusimpan jauh di lemari paling dalam. Besok, aku tidak akan ke taman lagi. Tidak akan melihat bangku kosong yang selalu menyakitkan itu. Mungkin cinta memang tidak selalu harus memiliki. Dan penantian kadang harus dikubur, agar hati bisa tumbuh kembali.



Dan inilah aku sekarang—bukan lagi Arsha yang duduk di taman menunggu. Tapi Arsha yang akhirnya tahu, bahwa tak semua cinta harus diselesaikan oleh kehadiran. Kadang, cukup dikenang oleh Juli yang pernah hangat, lalu ditinggalkan dengan senyuman.



Juli telah mengajariku banyak hal, termasuk bagaimana cara mengikhlaskan. Dan kamu—meski tak pernah kembali—tetap akan jadi cerita yang indah, yang cukup kutulis di lembaran yang hanya bisa kubaca sendiri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan