Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi

rinjani
Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi_
ilustrsi foto by Triptrus.com


Catatan Kritis Tentang Keindahan yang Terluka

Gunung Rinjani bukan sekadar gunung bagi masyarakat Lombok—ia adalah napas, marwah, dan cermin kehidupan. Dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Rinjani berdiri gagah sebagai gunung tertinggi kedua di Indonesia. Ia bukan hanya tujuan pendakian, tetapi juga destinasi rohani, tempat suci bagi umat Hindu, dan bentang alami yang membawa siapapun yang melihatnya pada perenungan yang dalam.

Namun, di balik keelokan panorama sabana, danau Segara Anak yang biru kehijauan, serta cahaya mentari yang menyentuh lembut punggung gunung, ada luka-luka yang tak terlihat. Luka karena keserakahan manusia, luka karena keindahan yang terlalu sering dimanfaatkan tanpa tanggung jawab.

"Kau bukan sekadar tanah tinggi, Rinjani.
Kau adalah puisi yang mengalir di dahi pagi.
Namun kini, langitmu mengabur oleh jejak-jejak tamak,
dan bisik anginmu tercekik aroma plastik dan kerak."


 

Keindahan yang Dikhianati

Setiap tahun, ribuan wisatawan datang untuk menaklukkan puncak Rinjani. Mereka mendaki dengan semangat, mengabadikan keindahan alam dengan kamera mereka, dan meninggalkan… jejak yang tak seharusnya: sampah, coretan batu, puntung rokok, hingga suara gaduh yang memekakkan sunyi hutan.

Fakta yang miris: pada 2018, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mencatat lebih dari 7 ton sampah di jalur pendakian. Jumlah ini bertambah setiap tahun, menandakan bahwa manusia lebih cepat meninggalkan kotoran daripada meninggalkan kesadaran.

"Jika kau cinta, kau akan jaga,
bukan merusak di balik tawa.
Rinjani tak butuh pendaki sombong,
ia butuh penyair yang diam dan menyerap getar ombak daun."


 

Segara Anak: Keindahan yang Terkikis

Danau Segara Anak, yang artinya "laut anak", berada di kaldera Rinjani. Airnya tenang, pantulan langit di permukaannya menciptakan efek cermin yang memesona. Tapi ironis, beberapa titik di danau mulai tercemar oleh aktivitas liar para pendaki: dari memasak dengan peralatan sekali pakai, mencuci peralatan dengan sabun kimia, hingga mandi dengan deterjen.

Keanekaragaman hayati di sekitar danau pun mulai terancam. Ikan mujair yang semula diperkenalkan sebagai sumber protein, justru mengganggu keseimbangan ekosistem lokal.

"Segara Anak, engkau bening dulu,
tempat aku bercermin dalam diam.
Kini airmu membawa sisa-sisa manusia yang lupa menghormat,
dan kau diam, karena diam adalah caramu menjerit."


 

Antara Romantisme dan Realisme

Banyak orang datang ke Rinjani untuk mencari romantisme: senja jingga di pelataran Plawangan Sembalun, malam berbintang yang nyaris tanpa polusi, atau pemandangan matahari terbit di atas awan. Semua itu nyata, namun tak abadi. Jika pengelolaan tidak diperketat, jika kesadaran tidak tumbuh bersama langkah kaki, maka semua keindahan itu hanya akan tinggal di foto dan cerita usang.

"Aku memetik matahari dari puncakmu, Rinjani,
lalu kubisikkan pada kekasih: inilah surga.
Tapi jika surga ditinggali tanpa cinta,
maka ia hanya akan jadi padang tak bertuan."


 

Kritik: Wisata atau Eksploitasi?

Banyak pihak kini mendorong Rinjani sebagai ikon wisata nasional, bahkan internasional. Tapi apakah semua itu dilakukan demi kelestarian atau semata laba? Pembangunan infrastruktur yang serampangan, promosi wisata masif tanpa edukasi konservasi, serta minimnya pengawasan petugas lapangan, semua menandakan bahwa Rinjani sedang diperah, bukan dicinta.

Haruskah keindahan selalu dijual demi pendapatan daerah? Haruskah alam tunduk pada logika ekonomi?

"Rinjani, kau tubuh yang dijual tanpa persetujuan.
Di mataku, kau adalah perempuan yang disolek paksa.
Dipamerkan, diabadikan, lalu ditinggalkan.
Tanpa peluk, tanpa janji perlindungan."


 

Harapan: Menulis Ulang Cinta untuk Rinjani

Semua belum terlambat. Cinta untuk Rinjani bisa ditulis ulang. Lewat edukasi bagi pendaki pemula, pembatasan jumlah pengunjung, pemberdayaan masyarakat lokal sebagai penjaga ekosistem, dan penegakan hukum yang tegas bagi pelanggar konservasi.

Dan lebih dari itu, dibutuhkan rasa malu—malu kepada alam yang telah memberikan pemandangan, udara, dan kesejukan, namun dibalas dengan ketamakan.

"Mari kita cintai Rinjani dalam diam yang menjaga,
dalam langkah yang tak meninggalkan luka,
dalam jejak yang tak harus terlihat manusia,
tapi terasa oleh bumi yang terjaga."


Gunung Rinjani bukan hanya tempat, ia adalah guru. Ia mengajarkan kesabaran lewat jalur terjal, keteguhan lewat angin dingin, dan keindahan lewat keheningan. Tapi jika kita tak belajar, maka Rinjani akan pergi, pelan-pelan, dihabisi oleh tangan yang katanya ‘pecinta alam’.

Dan saat itu tiba, hanya puisi yang tersisa—puisi yang tak lagi mengagungkan, tapi meratap.

"Aku mencintaimu, Rinjani,
bukan dari puncakmu, tapi dari nadimu.
Dan jika kau harus hilang,
biarkan aku yang pertama menangis untukmu."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan