![]() |
Ilustrasi foto Kita Bertemu di Senja, Tapi Kau Pergi Saat Fajar Menyapa |
Senja itu datang dengan warna jingga yang mengguncang hatiku. Aku berdiri di tepi pantai, angin laut membawa aroma asin yang menusuk, tapi lebih menusuk lagi adalah kehadiranmu. Kamu berjalan pelan dari arah dermaga, rambutmu menari diterpa angin, wajahmu tenang namun menyimpan sesuatu yang membuatku gelisah.
“Kamu datang juga,” kataku, berusaha menahan getar suara.
Kamu tersenyum samar, sebuah senyum yang seolah dipaksa lahir dari bibir yang enggan. “Aku janji, kan? Aku harus menepatinya.”
Aku menatapmu lekat, menahan desakan perasaan yang ingin meledak. Selama ini aku menunggumu, mengira pertemuan kita akan menghapus jarak, menghapus luka. Tapi entah kenapa, di balik senja ini, aku merasakan ancaman kehilangan yang begitu dekat.
“Senja memeluk langit,
seperti aku memeluk harap.
Tapi apa gunanya,
jika harap itu hanyalah bayangan yang rapuh?”
Aku duduk di pasir, menepuk tempat di sampingku. Kamu ragu, tapi akhirnya ikut duduk. Hening. Hanya suara ombak yang berbicara.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” katamu akhirnya.
“Mulailah dari hatimu,” sahutku cepat, menatap matamu. “Apa yang sebenarnya kamu simpan dari aku?”
Kamu terdiam. Aku melihat tanganmu gemetar, seakan ada rahasia yang terlalu berat untuk dibawa sendirian.
“Besok aku pergi,” ucapmu lirih.
Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku menoleh cepat, menatapmu dengan sorot penuh tanya. “Pergi? Maksudmu… ke mana?”
“Jauh,” jawabmu. “Sangat jauh. Dan mungkin… aku tidak akan kembali.”
“Jangan biarkan fajar merampas senja,
jangan biarkan jarak memutus doa.
Aku ingin menggenggam,
tapi genggamanku selalu terlambat.”
Aku merasa dadaku ditusuk ribuan jarum. “Kenapa kamu tidak pernah cerita sebelumnya? Kenapa harus sekarang?”
Kamu menunduk. “Aku tidak ingin kamu menahanku. Aku tahu, kalau aku cerita lebih awal, kamu pasti akan memohon aku untuk tetap di sini. Dan aku… aku terlalu lemah untuk menolakmu.”
Aku meraih tanganmu, menggenggam erat. “Kalau begitu biarkan aku egois! Biarkan aku yang memohon, biarkan aku yang menangis. Aku tidak peduli kemana pun kamu pergi, asal bukan meninggalkan aku begini.”
Kamu menatapku dengan mata yang sudah basah. “Aku pergi bukan karena aku tidak mencintaimu. Justru karena aku mencintaimu, aku tidak ingin kamu menunggu dalam ketidakpastian.”
Air mataku jatuh. Aku benci kenyataan ini. “Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kenapa harus pergi?”
Kamu terdiam, lalu berbisik, “Karena kadang, cinta juga butuh dilepaskan agar tidak semakin menyakitkan.”
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Segalanya terasa seperti permainan kejam takdir.
“Kamu adalah doa yang tak pernah selesai,
kamu adalah luka yang kucintai.
Jika fajar merebutmu dariku,
biarkan senja menjadi saksi terakhir kita.”
Aku bangkit berdiri, menatap langit yang mulai gelap. “Kalau begitu, izinkan aku bersamamu malam ini. Jangan pergi dulu. Biarkan fajar menjemputmu, tapi biarkan senja ini menjadi milikku.”
Kamu tersenyum getir, lalu ikut berdiri. “Baik. Malam ini milikmu. Tapi janji, jangan benci aku setelah aku pergi.”
Aku menggeleng. “Bagaimana mungkin aku bisa membenci orang yang menjadi alasan aku bertahan hidup?”
Kamu menutup jarak, lalu memelukku erat. Aku merasakan detak jantungmu berpacu dengan detakku. Hangat. Rapuh. Terlalu singkat.
“Terima kasih,” katamu pelan di telingaku. “Kamu adalah rumah yang selalu kuimpikan. Meski aku harus pergi, cintaku tidak pernah pergi darimu.”
Aku menahan napas, mencoba menyimpan aroma tubuhmu, seakan itu bisa membuatku bertahan saat kau benar-benar tiada.
“Pelukan ini sementara,
tapi luka ini selamanya.
Jika esok fajar mencuri dirimu,
biarlah aku mati di dalam rinduku.”
Senja benar-benar menghilang. Gelap menutup langit. Aku tahu, waktu kita hampir habis. Dan aku tahu, esok saat fajar datang, kamu akan pergi.
Tapi malam itu, aku tetap memelukmu, menolak melepaskan, seakan pelukan bisa menghentikan waktu.
Namun aku sadar, tidak ada yang bisa menghentikan fajar.
Komentar
Posting Komentar