Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Kita Bertemu di Senja, Tapi Kau Pergi Saat Fajar Menyapa

 

Ilustrasi foto Kita Bertemu di Senja, Tapi Kau Pergi Saat Fajar Menyapa

Senja itu datang dengan warna jingga yang mengguncang hatiku. Aku berdiri di tepi pantai, angin laut membawa aroma asin yang menusuk, tapi lebih menusuk lagi adalah kehadiranmu. Kamu berjalan pelan dari arah dermaga, rambutmu menari diterpa angin, wajahmu tenang namun menyimpan sesuatu yang membuatku gelisah.

“Kamu datang juga,” kataku, berusaha menahan getar suara.

Kamu tersenyum samar, sebuah senyum yang seolah dipaksa lahir dari bibir yang enggan. “Aku janji, kan? Aku harus menepatinya.”

Aku menatapmu lekat, menahan desakan perasaan yang ingin meledak. Selama ini aku menunggumu, mengira pertemuan kita akan menghapus jarak, menghapus luka. Tapi entah kenapa, di balik senja ini, aku merasakan ancaman kehilangan yang begitu dekat.

“Senja memeluk langit,
seperti aku memeluk harap.
Tapi apa gunanya,
jika harap itu hanyalah bayangan yang rapuh?”

Aku duduk di pasir, menepuk tempat di sampingku. Kamu ragu, tapi akhirnya ikut duduk. Hening. Hanya suara ombak yang berbicara.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” katamu akhirnya.

“Mulailah dari hatimu,” sahutku cepat, menatap matamu. “Apa yang sebenarnya kamu simpan dari aku?”

Kamu terdiam. Aku melihat tanganmu gemetar, seakan ada rahasia yang terlalu berat untuk dibawa sendirian.

“Besok aku pergi,” ucapmu lirih.

Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku menoleh cepat, menatapmu dengan sorot penuh tanya. “Pergi? Maksudmu… ke mana?”

“Jauh,” jawabmu. “Sangat jauh. Dan mungkin… aku tidak akan kembali.”

“Jangan biarkan fajar merampas senja,
jangan biarkan jarak memutus doa.
Aku ingin menggenggam,
tapi genggamanku selalu terlambat.”

Aku merasa dadaku ditusuk ribuan jarum. “Kenapa kamu tidak pernah cerita sebelumnya? Kenapa harus sekarang?”

Kamu menunduk. “Aku tidak ingin kamu menahanku. Aku tahu, kalau aku cerita lebih awal, kamu pasti akan memohon aku untuk tetap di sini. Dan aku… aku terlalu lemah untuk menolakmu.”

Aku meraih tanganmu, menggenggam erat. “Kalau begitu biarkan aku egois! Biarkan aku yang memohon, biarkan aku yang menangis. Aku tidak peduli kemana pun kamu pergi, asal bukan meninggalkan aku begini.”

Kamu menatapku dengan mata yang sudah basah. “Aku pergi bukan karena aku tidak mencintaimu. Justru karena aku mencintaimu, aku tidak ingin kamu menunggu dalam ketidakpastian.”

Air mataku jatuh. Aku benci kenyataan ini. “Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kenapa harus pergi?”

Kamu terdiam, lalu berbisik, “Karena kadang, cinta juga butuh dilepaskan agar tidak semakin menyakitkan.”

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Segalanya terasa seperti permainan kejam takdir.

“Kamu adalah doa yang tak pernah selesai,
kamu adalah luka yang kucintai.
Jika fajar merebutmu dariku,
biarkan senja menjadi saksi terakhir kita.”

Aku bangkit berdiri, menatap langit yang mulai gelap. “Kalau begitu, izinkan aku bersamamu malam ini. Jangan pergi dulu. Biarkan fajar menjemputmu, tapi biarkan senja ini menjadi milikku.”

Kamu tersenyum getir, lalu ikut berdiri. “Baik. Malam ini milikmu. Tapi janji, jangan benci aku setelah aku pergi.”

Aku menggeleng. “Bagaimana mungkin aku bisa membenci orang yang menjadi alasan aku bertahan hidup?”

Kamu menutup jarak, lalu memelukku erat. Aku merasakan detak jantungmu berpacu dengan detakku. Hangat. Rapuh. Terlalu singkat.

“Terima kasih,” katamu pelan di telingaku. “Kamu adalah rumah yang selalu kuimpikan. Meski aku harus pergi, cintaku tidak pernah pergi darimu.”

Aku menahan napas, mencoba menyimpan aroma tubuhmu, seakan itu bisa membuatku bertahan saat kau benar-benar tiada.

“Pelukan ini sementara,
tapi luka ini selamanya.
Jika esok fajar mencuri dirimu,
biarlah aku mati di dalam rinduku.”

Senja benar-benar menghilang. Gelap menutup langit. Aku tahu, waktu kita hampir habis. Dan aku tahu, esok saat fajar datang, kamu akan pergi.

Tapi malam itu, aku tetap memelukmu, menolak melepaskan, seakan pelukan bisa menghentikan waktu.

Namun aku sadar, tidak ada yang bisa menghentikan fajar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...