![]() |
ilustrasi foto Satu Senyum yang Membuatku Lupa, Bahwa Kamu Pernah Melukai |
Aku tidak pernah lupa hari ketika kamu meninggalkanku tanpa alasan. Saat itu, semua yang kupeluk hanyalah sepi yang menampar. Hening yang merobek dada. Malam-malamku penuh dengan tanya yang tak pernah kamu jawab.
Tapi yang lebih menyakitkan dari perpisahan, adalah kenyataan bahwa kamu pergi tanpa sempat menoleh. Seolah-olah aku hanyalah halaman kosong dalam buku hidupmu yang bisa kamu lewati begitu saja.
Dan kini, setelah bertahun-tahun aku belajar menutup luka, kamu kembali muncul. Bukan dengan penjelasan. Bukan dengan permintaan maaf. Tapi hanya dengan satu senyum.
Aku menatapmu di sudut kafe itu. Senyummu masih sama—lugas, sederhana, tapi punya kuasa yang membuat detak jantungku berantakan.
“Lama tak bertemu, ya?” katamu pelan, seolah waktu hanyalah sekilas angin yang melintas di sela kita.
Aku terdiam. Kata-kata seperti membeku di ujung lidahku. Aku ingin marah, ingin menagih penjelasan, ingin berteriak bahwa aku pernah hancur karenamu. Tapi anehnya, semua itu sirna saat melihat caramu menatapku, seperti dulu.
Aku hanya mampu berbisik lirih,
“Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua retakan ini kau kembali?”
Kamu menunduk sebentar, lalu tersenyum lagi. Senyum yang sama. Senyum yang dulu kupercaya sebagai rumah, tapi juga senyum yang membuatku kehilangan arah.
“Aku benci caramu tersenyum begitu,” ujarku akhirnya, mencoba menutupi getar suaraku.
“Kenapa?” tanyamu.
“Karena senyum itu membuatku lupa. Lupa bahwa aku pernah kau tinggalkan. Lupa bahwa aku pernah berdarah-darah menutup luka dari kepergianmu.”
Aku menghela napas panjang. Dan entah mengapa, kalimat itu pecah menjadi puisi tanpa sadar.
Senyummu adalah belati,
yang menusuk tanpa luka terlihat.
Senyummu adalah candu,
yang membuatku rela kembali, meski pernah kau buang tanpa sebab.
Kamu terdiam. Aku tahu kamu mengerti maksud setiap kata yang terucap.
Aku menyesap kopi yang mulai dingin. Tanganku gemetar, bukan karena kafein, tapi karena aku sedang duduk di hadapan seseorang yang pernah kubenci dengan segenap jiwa, namun kurindukan dengan segenap raga.
“Kamu ingin apa dariku sekarang?” tanyaku lagi.
Kamu menatapku dalam-dalam. “Aku hanya ingin bicara. Aku hanya ingin kau tahu… aku menyesal.”
Kata itu—menyesal—muncul terlambat. Setelah malam-malamku terkubur dalam tangis. Setelah aku membangun benteng di sekeliling hati.
Aku hampir ingin berdiri, pergi, dan menutup pintu ini selamanya. Tapi kakiku berat. Seolah-olah hatiku berkata: dengarkan dia sekali lagi.
“Kau tahu?” ujarku sambil menahan air mata. “Aku pernah berharap kau kembali, walau hanya sehari. Tapi kini, setelah bertahun-tahun aku belajar hidup tanpamu, kenapa justru sekarang kau hadir?”
Kamu menatapku dengan mata yang basah. “Karena aku bodoh. Karena aku terlalu takut menghadapi apa yang kurasakan. Dan karena aku sadar, tidak ada yang bisa menggantikanmu.”
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti hujan deras yang mengguyur tanah kering dalam hatiku. Aku ingin percaya, tapi rasa sakit itu masih nyata.
Aku menunduk. Tanganku mengepal. Suara hatiku berbisik lirih,
Aku ingin marah, tapi hatiku rapuh.
Aku ingin benci, tapi cintaku masih utuh.
Aku ingin menolak, tapi rinduku terlalu penuh.
Kamu mengulurkan tanganmu ke arahku. Aku menatapnya lama. Itu tangan yang dulu pernah kulepaskan dengan terpaksa. Itu tangan yang pernah membiarkanku jatuh sendirian.
Tapi kini tangan itu menunggu. Membisu.
Aku harus memilih: meraih, atau meninggalkan untuk kedua kali.
Aku menutup mata sejenak. Bayangan masa lalu menari-nari dalam kepalaku—malam ketika aku menunggu pesanmu yang tak pernah datang, hari ketika aku tahu kamu memilih pergi tanpa pamit, hingga saat aku belajar berjalan dengan luka yang kupeluk sendiri.
Tapi kemudian aku membuka mata, dan yang kulihat hanya senyummu. Senyum yang dulu kuterima sebagai cahaya, tapi kini kupandang sebagai pertaruhan.
Aku menarik napas panjang dan berkata,
“Satu senyum ini, bisa membuatku kembali percaya. Tapi satu luka lagi darimu, akan membuatku hancur untuk selamanya.”
Kamu menunduk, lalu mengangguk. Senyum itu masih ada, tapi kini tak lagi terasa ringan. Senyum itu mengandung janji, sekaligus ancaman.
Dan di detik itu aku tahu,
cinta bukan soal melupakan luka,
tapi berani memilih apakah luka itu layak disembuhkan—atau dibiarkan membusuk selamanya.
Komentar
Posting Komentar