"Kupikir Dia Sahabatku, Ternyata Dia Mengandung Anak Suamiku"
Ilustrasi gambar by bola.com
Hujan turun deras sore itu, menyelimuti rumahku dengan suara rintik yang menusuk telinga. Aku duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu yang tak juga diketuk siapa pun. Hati kecilku sudah lama berteriak, ada sesuatu yang salah dengan rumah tanggaku. Suamiku, Arman, kerap pulang larut, dengan alasan rapat, pekerjaan, atau sekadar “tanggung jawab.” Tapi yang paling membuatku resah adalah bayangan wajah sahabatku sendiri, Dina.
Ya, Dina. Sahabat yang selalu ada saat aku jatuh, yang mendengarkan setiap keluh kesahku tentang rumah tangga, yang kupikir tulus menjadi tempat bersandar. Hingga hari itu, aku mendengar kabar yang merobek hatiku.
“Aku harus bicara sama kamu, Ra,” suara lirih Dina saat kami bertemu di kafe kecil dekat taman. Wajahnya pucat, matanya sembab. Tangannya gemetar menggenggam cangkir teh yang belum disentuh.
Dina menatapku, bibirnya bergetar, lalu ia menangis. “Aku... aku hamil, Ra.”
Aku tercekat. “Hamil? Tapi... siapa—”
Dunia seakan berhenti berputar. Jantungku memukul dada sekuat tenaga, membuat nafasku terengah. Aku ingin tertawa, tapi yang keluar hanya kepedihan.
“Din... kamu sadar apa yang baru kamu katakan? Itu... suamiku!” suaraku bergetar, nyaris pecah.
Air matanya jatuh tanpa henti. “Aku nggak pernah niat, Ra. Semuanya terjadi begitu saja. Aku... aku salah, tapi aku juga takut...”
Aku berdiri, kursi terhantam ke lantai. Orang-orang menoleh, tapi aku tak peduli.
“Din, kamu sahabatku. Kamu tahu betapa aku mencintai dia, betapa aku menjaga rumah tanggaku. Kenapa kamu?”
Dina menutup wajahnya. “Aku juga benci diriku sendiri.”
Aku melangkah keluar kafe dengan langkah gontai. Dunia terasa asing, jalanan terasa berputar. Langit pun seakan ikut menertawakan kebodohanku.
Malam itu, aku menunggu Arman pulang. Ketika pintu terbuka, ia masuk dengan wajah lelah. Tapi bagiku, wajah itu kini penuh kebohongan.
“Arman,” panggilku lirih.
Dia menoleh. “Ya, Ra? Kenapa?”
Aku menatapnya lurus. “Sejak kapan kamu tidur dengan Dina?”
Arman terdiam, wajahnya pucat. Tangannya yang membawa tas hampir terlepas. “Ra... aku bisa jelaskan—”
“Jangan!” bentakku. “Jangan berani kau meracuni telingaku dengan alasan basi.”
Ia mendekat, mencoba menggenggam tanganku. Tapi aku menepisnya. Air mataku jatuh tanpa bisa dibendung.
“Aku percaya padamu, Arman. Aku bahkan menutup mata saat kau sering pulang malam. Tapi kau hancurkan semuanya. Dan lebih kejam lagi, kau hancurkan lewat orang yang kupanggil sahabat.”
Suara gemetar keluar dari bibirku, lalu aku tersenyum pahit.
“Bukankah aku pernah bilang padamu, Man?” kataku dengan lirih, nyaris seperti puisi.
Arman menunduk, tak sanggup menatapku.
“Ra... aku khilaf. Aku bodoh.”
Aku memandangnya tajam. “Khilaf tidak akan membuat Dina mengandung anakmu, Arman.”
Hening merayap di antara kami, hanya terdengar detak jam dinding yang menusuk.
Beberapa hari berlalu, aku hidup seperti tubuh tanpa jiwa. Dina mencoba menghubungiku berkali-kali, tapi tak pernah kujawab. Hatiku penuh luka, penuh amarah, tapi juga penuh kerinduan pada masa lalu yang tak bisa kembali.
Sampai suatu malam, aku menuliskan pesan panjang, bukan untuk Dina, bukan untuk Arman, tapi untuk diriku sendiri.
Aku sadar, luka ini akan lama mengering. Tapi aku harus berdiri. Aku harus memilih diriku sendiri. Karena sahabat bisa berkhianat, suami bisa menipu, tapi aku—aku harus tetap hidup.
Komentar
Posting Komentar