Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...
Langkah-langkahmu menapaki jalur tanah basah,
di antara akar-akar yang menggeliat
seperti rindu yang tak pernah patah.
Kau di depan, membawa tas berisi logistik dan mimpi,
aku di belakang, membawa hati yang sejak
awal ingin tinggal di dekapanmu lagi.
Angin menyapu rambutmu pelan,
seperti alam tahu bahwa aku diam-diam
sedang jatuh perlahan.
Kabut turun, menyelimuti jalur pendakian,
namun
tak pernah bisa menyelimuti perasaanku
yang kian terang dalam keremangan.
Kita duduk di sebuah batu besar,
melepas lelah sambil berbagi coklat
dan cerita yang hambar jadi mekar.
Kau tertawa, dan di sela-sela
napasmu yang lelah,
ada doa yang tak kau ucapkan tapi aku
tangkap dengan indra
yang lebih peka dari telinga.
Mencintaimu
di jalur pendakian seperti mencintai semesta,
penuh tantangan, tapi aku ingin terus naik ke puncaknya.
Meski kadang langkahmu lebih cepat,
aku selalu tahu, kau akan berhenti
dan menungguku di tikungan
yang sunyi itu—tempat rindu beristirahat.
Di puncak nanti,
kita tidak hanya melihat lautan awan atau matahari pagi,
tapi juga melihat masa depan yang kita daki dengan hati,
dengan cinta yang tak takut pada terjalnya tebing
atau dinginnya malam di tenda kecil itu nanti.
Karena pendakian ini
bukan hanya tentang menaklukkan gunung,
tapi tentang menyatu
dalam peluh dan pelukan,
tentang merindu dalam dingin,
dan mencinta dalam diam yang saling menguatkan.
Komentar
Posting Komentar