Ilusi foto cerita pendek by pixabay.com
Angin malam menyusup lewat celah jendela kamar santri. Dingin. Sunyi. Tapi pikiranku tak pernah seramai ini. Di balik pekat malam dan dinding kayu tua pondok pesantren Nurul Huda, aku menyimpan sesuatu yang tak pernah mampu kusuarakan.
Namaku Alif. Seorang santri kelas akhir, nyaris khatam kitab-kitab kuning, tapi tak pernah khatam menafsirkan satu hal: perasaan.
Semua bermula pada malam selasa, saat aku ditunjuk untuk membantu mengatur perlengkapan acara khataman. Tak ada yang aneh sebenarnya, sampai aku melihatnya—dia, gadis itu—duduk di sisi aula perempuan dengan jilbab biru langit, matanya menunduk, membaca buku kecil bertuliskan Mau'izhoh Hasanah.
Namanya Zahra.
Dia bukan tipe yang mencolok. Bahkan terlalu tenang untuk diperhatikan. Tapi justru di situlah daya tariknya—ada sesuatu dalam diamnya yang menjerat hatiku, perlahan, tanpa suara.
Aku mulai mencari-cari alasan untuk dekat. Menyengaja lewat lapangan saat dia berjalan ke perpustakaan. Menunggu azan maghrib sambil mencuri pandang dari serambi masjid. Hingga suatu hari, aku memberanikan diri meminjamkan buku tafsirku yang kebetulan ia cari di perpustakaan.
“Assalamu’alaikum, ini bukunya… yang kamu cari kemarin, kan?” tanyaku, berusaha terdengar biasa.
Zahra menoleh. Senyumnya kecil, tapi cukup membuat jantungku berpacu.
“Wa’alaikumussalam. Iya, makasih… aku sempat nyari tapi udah dipinjam orang katanya.”
“Aku yang pinjam, kemarin. Tapi udah selesai.”
Dia mengangguk, menerima buku itu, dan hanya berkata pelan, “Semoga berkah, ya.”
Kalimat itu menempel di kepalaku berhari-hari.
Tapi mencintai di pondok bukan perkara sederhana. Ada batas, ada aturan. Perasaan harus diam seperti doa—disampaikan dalam hening, hanya pada Tuhan. Maka aku memilih menjauh. Setiap pertemuan, kutukar dengan doa. Setiap hasrat bicara, kutahan dengan dzikir. Tapi hati… selalu punya caranya sendiri untuk bising.
Sampai malam itu.
Aku baru saja selesai tahajud, duduk di serambi, ketika kudengar suara ribut dari arah dapur pondok. Listrik mati, dan hanya cahaya rembulan menyinari sebagian halaman. Suara seperti langkah terburu-buru, lalu bisikan.
Aku mengintip dari balik tirai kayu. Ada dua bayangan di sana—dan satu di antaranya adalah Zahra.
Tubuhku menegang.
Bersama seorang lelaki, dia berdiri di balik sumur tua pondok. Jarak kami cukup jauh, tapi cukup jelas untuk melihat ekspresi gugup Zahra.
Aku tidak tahu siapa lelaki itu. Mungkin santri putra, mungkin bukan. Yang pasti, aku tidak pernah melihat Zahra berbicara selama itu pada siapa pun dari kami.
Aku kembali ke dalam kamar. Nafasku naik turun.
Antara ingin tahu, dan tidak ingin tahu.
Aku merasa marah, tapi juga tak berhak. Aku merasa patah, padahal belum pernah menggenggam. Dan ketika pagi datang, Zahra tak terlihat seperti biasanya. Dia tak hadir di kelas. Tak juga di perpustakaan.
Hingga malam harinya, kabar itu tersebar: Zahra dipindahkan oleh orangtuanya, tanpa pemberitahuan.
Pondok menjadi gempar. Ada yang bilang dia dijodohkan. Ada yang bilang dia ditemukan sering berhubungan lewat surat dengan santri putra. Tapi tidak ada yang tahu pasti. Semua serba simpang siur.
Aku hanya diam.
Malam itu, di atas sajadah, aku menangis. Bukan karena kehilangan—karena sejatinya, aku tak pernah memiliki. Tapi karena aku terlambat untuk benar-benar menjaga, bahkan dalam diamku.
Beberapa hari kemudian, aku menemukan secarik kertas terselip di antara kitab tafsir yang dulu kupinjamkan padanya.
Tulisannya miring dan halus.
“Aku tahu kamu sering lewat dengan alasan yang tak perlu. Aku juga tahu buku itu kamu pinjam bukan karena ingin membaca lagi.
Tapi terima kasih... atas diam yang tidak membebani. Diam yang tidak mencuri hakku sebagai perempuan di pondok ini.
Aku dipindahkan karena mereka mengira aku menyukai orang lain. Padahal aku hanya mencintai dalam diam, seperti kamu.
Maaf karena tak pernah bisa bicara langsung. Tapi… doaku tetap sama. Semoga Allah mempertemukan kita, jika bukan di dunia, mungkin di surga-Nya.
Zahra”
Tanganku gemetar memegang kertas itu.
Ada kalimat-kalimat yang lebih nyaring dari teriakan. Ada cinta yang lebih dalam dari pengakuan. Dan Zahra… telah membuktikannya.
Sekarang, setiap malam aku berdiri kembali di tempat yang sama, menyebut namanya dalam sujud terakhir. Bukan untuk meminta, tapi agar ia tetap dalam lindungan-Nya, di mana pun ia berada.
Karena cinta yang sejati, mungkin memang bukan untuk dimiliki… tapi cukup untuk didoakan dalam diam.
Komentar
Posting Komentar