![]() |
Cerita Pendek :Jejak di Balik Hujan by pixabay.com |
Hujan deras mengguyur kota sejak sore. Di sebuah rumah kecil
di pinggiran Jakarta, Laras duduk di kursi makan yang dingin. Matanya kosong,
tangannya gemetar memegang cangkir teh yang sudah dingin sejak satu jam lalu.
Di atas meja, sebuah ponsel berdering pelan—nama "Aldi" muncul di
layar.
Laras tidak menjawab.
Pikirannya melayang ke satu bulan lalu, ketika hidupnya
masih tampak normal. Ia dan Aldi, suaminya, tampak seperti pasangan bahagia di
mata orang-orang. Tapi semua itu berubah sejak Laras menemukan selembar struk
hotel di kantong celana Aldi—tepat saat ia mencuci pakaian suaminya.
Ia tak langsung marah. Tidak bertanya. Tidak menuduh. Tapi
sejak itu, ia mengamati. Mengawasi. Dan perlahan, kenyataan menghancurkan
hatinya: Aldi berselingkuh.
Namanya Tiara. Seorang rekan kerja baru Aldi di kantor.
Laras melihat semuanya di media sosial, dalam pesan-pesan tersembunyi yang tak
cukup pintar disembunyikan. Ia bahkan pernah mengikuti Aldi diam-diam, melihat
dengan matanya sendiri suaminya mencium wanita itu di parkiran mall.
Hatinya remuk. Tapi Laras tidak menangis.
Dia hanya tersenyum getir. Lalu mulai merencanakan.
Malam itu, Laras memasak makanan favorit Aldi—semur daging
dan sup jagung. Ia mendekor meja makan, menyalakan lilin kecil di tengahnya.
Saat Aldi pulang, basah kuyup karena lupa bawa payung, Laras menyambut dengan
senyum manis yang hampir membuat Aldi merasa bersalah.
"Hari spesial?" tanya Aldi.
"Hanya ingin makan malam romantis. Sudah lama kita
tidak seperti ini," jawab Laras lembut.
Aldi duduk, matanya sedikit curiga, tapi perutnya lapar dan
masakan Laras menggoda. Mereka makan bersama, bercakap basa-basi, seolah tak
ada badai yang sedang tumbuh di balik kata-kata manis itu.
Laras menunggu.
Beberapa menit setelah makan, wajah Aldi mulai berubah. Ia
memegang perutnya, wajahnya pucat.
"Laras... perutku..."
"Ada apa, Mas?" tanya Laras tenang, meski hatinya
berdegup keras.
"Aku... pusing... perutku panas..."
Aldi terjatuh dari kursi. Laras berdiri, menatap tubuh
suaminya yang menggeliat kesakitan di lantai. Racun yang dicampurkannya ke
makanan bekerja cepat. Tapi bukan itu akhir dari rencananya.
Ia berjongkok, menatap wajah Aldi yang mulai sulit bernapas.
Dengan suara pelan, ia berkata:
"Aku tahu tentang Tiara."
Aldi ingin berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar.
"Aku melihat kalian. Aku tahu semua kebohonganmu."
Aldi mencoba meraih tangan Laras, mungkin meminta maaf, atau
mungkin hanya panik karena tubuhnya melemah. Tapi Laras menepisnya.
"Aku mencintaimu, Mas. Tapi kamu hancurkan semuanya.
Jadi aku akan menghancurkanmu juga."
Beberapa detik kemudian, Laras mengambil pisau dapur dari
belakangnya—yang sejak tadi disembunyikannya di balik rok panjangnya.
Satu tikaman. Dua. Tiga. Darah mengalir di lantai, bercampur
dengan air hujan yang masuk dari jendela yang tak tertutup rapat. Laras
menangis saat melakukannya, tapi bukan karena penyesalan. Tangis itu lahir dari
cinta yang dibakar habis oleh pengkhianatan.
Pagi harinya, polisi mendobrak pintu rumah Laras setelah
laporan tetangga yang curiga dengan bau menyengat dan suara gaduh semalam.
Mereka menemukan Aldi tewas bersimbah darah di lantai ruang makan. Laras duduk
di pojok ruangan, pakaiannya berlumuran darah, tatapannya kosong.
"Aku membunuhnya," katanya pelan.
"Aku tidak bisa lagi hidup dengan kebohongan itu."
Tangannya terangkat tanpa perlawanan ketika borgol diklikkan
ke pergelangan tangannya. Saat dibawa ke mobil polisi, Laras menatap langit
yang masih mendung. Ia tidak tersenyum. Tidak menangis lagi. Hanya diam.
Beberapa bulan kemudian, kasus Laras menjadi viral. Media
menyebutnya sebagai "Istri Pembunuh karena Perselingkuhan." Beberapa
orang mengutuknya, menyebutnya gila. Tapi tak sedikit juga yang memahaminya,
bahkan memujanya sebagai simbol perlawanan perempuan yang terluka.
Tiara? Ia menghilang dari media sosial. Konon, ia
mengundurkan diri dari kantor dan pindah kota. Nama dan reputasinya hancur
bersama hubungan terlarang yang mengubur dua kehidupan sekaligus.
Dan Laras, di balik jeruji besi, hanya duduk mematung setiap
hari. Di dinding selnya, ia menggambar bunga mawar dengan arang yang diambil
dari sisa pembakaran. Mungkin sebagai simbol cinta. Atau mungkin sebagai simbol
luka yang tak pernah bisa benar-benar sembuh.
Jika kamu ingin cerita ini dikembangkan jadi naskah film
pendek atau cerpen bergaya sastra, aku bisa bantu juga!
Komentar
Posting Komentar