Raja Ampat: Surga yang Hendak Dijual Demi Tambang Nikel ilustrasi Foto by (https://www.google.com/search?=saverajampat&udm=) |
Di ujung timur Indonesia, Tuhan mengguratkan surga yang tak ada duanya: Raja Ampat. Gugusan pulau-pulau karst, laut sebening kristal, dan keanekaragaman hayati laut yang menjadikannya salah satu pusat biodiversitas dunia. Namun kini, surga itu tengah dirundung ancaman besar: tambang nikel.
Pemerintah, melalui Kementerian ESDM dan berbagai instrumen perizinannya, membuka jalan bagi perusahaan tambang untuk masuk ke jantung konservasi Raja Ampat. Ironisnya, langkah ini justru diambil saat dunia sedang memuji Indonesia atas kekayaan alam Papua. Apa yang lebih paradoks dari pemerintah yang mempromosikan ecotourism di satu sisi, namun diam-diam menggali kuburan ekologis di sisi lain?
Tambang Nikel: Berkah Siapa, Petaka Siapa?
Dalih pemerintah sederhana: tambang nikel adalah "kebutuhan strategis nasional." Katanya, ini untuk menunjang industri baterai kendaraan listrik, demi transisi energi bersih. Namun, di balik jargon ramah lingkungan itu tersembunyi wajah muram keserakahan.
Pertama, mari kita tanyakan: siapa yang paling diuntungkan dari tambang ini? Rakyat Papua? Jelas bukan. Proyek-proyek besar semacam ini sudah berkali-kali terbukti tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Yang didapat warga hanyalah jalan rusak, sungai tercemar, dan tubuh-tubuh lelah akibat menjadi buruh kasar di tanah sendiri. Sementara itu, kekayaan nikel mengalir ke konglomerat dan elite politik di Jakarta.
Kedua, mengapa Raja Ampat? Dari sekian banyak wilayah di Indonesia, mengapa harus kawasan konservasi laut kelas dunia ini yang jadi sasaran? Ini menunjukkan betapa serakahnya penguasa dalam mengeksploitasi sumber daya alam tanpa perhitungan jangka panjang. Raja Ampat bukan hanya milik Papua, tapi warisan dunia. Mengorbankannya demi tambang adalah tindakan kejahatan ekologis yang tak bisa dimaafkan.
Pemerintah: Tuli Terhadap Suara Rakyat
Gelombang penolakan datang dari masyarakat adat Moi Kelim, pemilik hak ulayat atas wilayah tambang yang direncanakan. Mereka dengan tegas menolak eksplorasi tambang nikel. Namun, seperti biasa, suara rakyat Papua hanya dianggap deru angin lalu. Jakarta terlalu jauh untuk mendengar, dan terlalu sibuk menghitung keuntungan.
Pemerintah pusat terus mendorong investasi, memuluskan perizinan, dan menjanjikan kompensasi seolah nyawa, tanah, dan warisan budaya bisa dibeli dengan uang. Ini adalah bentuk kolonialisme gaya baru—dengan corak legalitas yang dirancang sedemikian rupa agar penguasaan tanah oleh korporasi besar tampak sah di mata hukum, walau tidak pernah sah di hati rakyat.
Lebih parahnya lagi, pemerintah daerah pun mulai ikut bermain, tergiur dengan janji bagi hasil tambang. Padahal, pengalaman dari daerah lain seperti Morowali dan Halmahera menunjukkan bahwa dampak sosial dan lingkungan dari tambang nikel jauh lebih besar daripada yang dibayangkan.
Kerusakan yang Tak Akan Bisa Ditebus
Tambang bukan sekadar lubang di tanah, tapi lubang dalam peradaban. Sekali tanah itu digali, ekosistem akan berubah selamanya. Lumpur dan limbah tambang akan mencemari perairan Raja Ampat yang selama ini menjadi rumah bagi ribuan spesies laut. Penelitian membuktikan bahwa bahkan tumpahan kecil dari aktivitas tambang bisa menyebabkan kematian terumbu karang dalam hitungan minggu.
Apakah pemerintah siap menanggung biaya ekologis ini? Tidak. Karena mereka tidak pernah membayar biaya ekologis. Yang membayar adalah rakyat—dalam bentuk hilangnya sumber makanan, air bersih, dan kebudayaan.
Lebih dari itu, anak-anak Papua akan mewarisi tanah yang terluka, hutan yang gundul, dan laut yang mati. Mereka tak akan tahu bagaimana rasanya berenang di air sebening kristal, atau menyelam bersama ikan-ikan yang dulu memenuhi cerita kakek-nenek mereka. Pemerintah tidak hanya menghancurkan alam, tapi juga menghapus ingatan kolektif sebuah bangsa.
Kritik: Pemerintah Tanpa Kompas Moral
Sudah saatnya kita mempertanyakan arah moral kebijakan negara ini. Di mana logika kepemimpinan ketika pemerintah lebih mendengar suara korporasi daripada jeritan masyarakat adat? Di mana hati nurani ketika kekayaan jangka pendek lebih dipilih daripada kelestarian jangka panjang?
Jika pemerintah benar-benar peduli pada masa depan, mereka seharusnya melindungi Raja Ampat mati-matian. Bukan malah menandatangani kematian ekologisnya dengan izin tambang. Dunia luar tahu betapa berharganya Raja Ampat—mengapa justru pemerintah sendiri yang paling dulu menghianatinya?
Raja Ampat Harus Dilindungi, Bukan Dijual
Raja Ampat bukan komoditas. Ia adalah identitas, sejarah, dan harapan. Menjadikannya ladang tambang adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi, terhadap janji kesejahteraan, dan terhadap martabat bangsa Papua.
Pemerintah harus segera mencabut izin tambang nikel di Raja Ampat. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat: bahwa negara ini pernah menghancurkan surga demi seonggok logam, dan bahwa mereka yang seharusnya melindungi justru menjadi algojo utama kehancuran.
Jika Anda ingin artikel ini disebar di media sosial, blog, atau dikembangkan menjadi naskah video YouTube, saya siap bantu menyesuaikan format dan gaya penulisannya. Ingin dibuat versi viralnya juga?
Komentar
Posting Komentar