Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:Cinta dalam Tasbih

Ilustrasi foto Cerita Pendek:Cinta dalam Tasbih Aku mengenalnya di masjid kampus. Bukan pertemuan yang disengaja, apalagi direncanakan. Aku hanya sedang duduk di sudut serambi, menggenggam tasbih kayu cendana warisan dari almarhum kakek, saat ia lewat dengan langkah ringan, jilbab lebar, dan wajah tenang yang memancarkan damai. Ia tersenyum kecil padaku sebelum masuk ke dalam ruang salat wanita. Senyumnya sederhana, tapi menancap. Sejak saat itu, setiap ba’da asar, aku selalu datang lebih awal. Bukan semata untuk beribadah—walau itu tetap niat utamanya—tapi juga untuk menantikan ia lewat lagi. Dalam diamku, aku berzikir, tapi entah kenapa setiap tasbih yang kugenggam kini seolah menyebut namanya. Namanya Nisa. Aku baru tahu beberapa minggu kemudian, saat dia mengisi kajian singkat untuk mahasiswa. Ternyata dia bukan sekadar mahasiswi aktif, tapi juga penghafal Al-Qur’an yang sedang menyelesaikan pendidikan kedokterannya. Saat dia berbicara, kata-katanya halus namun berisi. Tidak...

Cerita Pendek:Cinta dalam Tasbih

Ilustrasi foto Cerita Pendek:Cinta dalam Tasbih


Aku mengenalnya di masjid kampus. Bukan pertemuan yang disengaja, apalagi direncanakan. Aku hanya sedang duduk di sudut serambi, menggenggam tasbih kayu cendana warisan dari almarhum kakek, saat ia lewat dengan langkah ringan, jilbab lebar, dan wajah tenang yang memancarkan damai. Ia tersenyum kecil padaku sebelum masuk ke dalam ruang salat wanita. Senyumnya sederhana, tapi menancap.



Sejak saat itu, setiap ba’da asar, aku selalu datang lebih awal. Bukan semata untuk beribadah—walau itu tetap niat utamanya—tapi juga untuk menantikan ia lewat lagi. Dalam diamku, aku berzikir, tapi entah kenapa setiap tasbih yang kugenggam kini seolah menyebut namanya.

Namanya Nisa. Aku baru tahu beberapa minggu kemudian, saat dia mengisi kajian singkat untuk mahasiswa. Ternyata dia bukan sekadar mahasiswi aktif, tapi juga penghafal Al-Qur’an yang sedang menyelesaikan pendidikan kedokterannya. Saat dia berbicara, kata-katanya halus namun berisi. Tidak ada yang dilebih-lebihkan. Ia seperti embun pagi yang menyejukkan, tapi tak pernah menyombongkan kesejukan itu.


Aku, Farhan, mahasiswa Teknik Mesin tahun ketiga, merasa terlalu jauh dari dunia Nisa. Tapi aku percaya, doa bisa menjembatani segalanya. Maka setiap malam aku menengadahkan tangan, menyebut namanya diam-diam, berharap Tuhan yang Maha Membolak-balikkan hati juga menyisipkan namaku dalam doanya.


“Far, kamu kok rajin banget sekarang ke masjid,” goda Amar, sahabat sekamarku di asrama.

“Gak boleh ya rajin salat?” sahutku sambil senyum.

“Boleh banget. Cuma biasanya kamu bolong-bolong. Sekarang ba’da ashar, subuh, bahkan tahajud pun kamu jaga. Apakah ini efek cinta dalam tasbih?” Dia tertawa lebar, menggoda tanpa ampun.

Aku hanya menjawab dengan gelengan kecil dan senyum malu-malu. Tapi dalam hatiku, ya—ini memang cinta. Tapi bukan cinta biasa. Ini cinta yang tumbuh dalam diam, berakar dalam dzikir, dan bersemi dalam sujud panjang.



Aku tak pernah berani menyapanya, apalagi mengungkapkan perasaan. Bagiku, jika cinta ini benar, ia tak perlu diburu dengan kata-kata. Cukuplah aku memperbaiki diri, karena aku tahu, perempuan sepertinya pasti memilih laki-laki yang bisa menuntunnya, bukan hanya menggenggam tangannya.

Sampai suatu hari, dosen pembimbingku yang juga aktivis dakwah kampus memanggilku.

“Farhan, kamu kenal Nisa, kan?”

Deg. Jantungku serasa berhenti sejenak. “Kenal, Pak. Maksudnya, tahu…”

Beliau tersenyum. “Dia butuh bantuan untuk proyek sosial ke desa binaan. Aku pikir kamu bisa bantu di bagian teknisnya.”

Tuhan… benarkah Engkau sedang menjawab doaku?

“Siap, Pak. Saya bersedia.”

Itulah pertama kalinya aku benar-benar bicara dengannya. Awalnya canggung, tentu saja. Tapi Nisa bukan tipe yang suka basa-basi. Ia langsung membahas teknis, membicarakan rencana pengadaan air bersih di desa terpencil tempat kami akan mengabdi dua minggu ke depan.

Dalam perjalanan, aku menyaksikan sisi lain dari dirinya. Ia bukan hanya cerdas, tapi juga sangat peduli. Ia sabar saat anak-anak kecil rewel, ia tangguh saat harus berjalan menanjak ke lokasi, dan ia tetap menjaga batas—tak pernah sedikit pun memberi celah untuk hal-hal yang tidak syar’i.

Ada satu malam yang tak akan kulupa. Kami selesai mengadakan penyuluhan dan sedang duduk melingkar di beranda rumah warga. Langit gelap dihiasi bintang. Aku sedang memutar-mutar tasbihku, sementara ia sibuk menyalin laporan.

“Tasbih itu… indah ya,” katanya tiba-tiba, membuatku terkejut. Itu kali pertama ia bicara padaku secara pribadi.

Aku menoleh, menatapnya yang masih fokus pada buku catatannya. “Iya, ini warisan kakek. Sudah menemaniku sejak SMA.”

“Bukan tasbihnya, maksudku. Tapi apa yang kita lafalkan lewat tasbih. Zikir. Doa. Harapan.”

Aku tersenyum. “Aku setuju. Ada cinta yang aku tanam di setiap butirnya.”

Ia menoleh. “Cinta?”

Aku sempat ragu menjawab. Tapi aku putuskan berkata jujur, walau samar.

“Cinta pada-Nya. Cinta pada kehidupan yang lebih tenang. Dan… cinta yang sedang aku jaga, semoga tak bertepuk sebelah tangan.”

Ia menatapku lama. Lalu tersenyum. “Semoga yang dicintai itu juga sedang merangkai doanya dalam tasbih yang sama.”

Malam itu aku tahu, mungkin—hanya mungkin—doaku tidak berjalan sendirian.



Setelah program pengabdian selesai, aku merasa waktuku bersama Nisa terlalu cepat berlalu. Tapi aku sadar, jika aku ingin melangkah lebih jauh, harus dengan cara yang terhormat. Maka aku datang ke rumahnya, bersama orang tuaku. Dengan gemetar aku sampaikan maksudku: melamar.

Namun Allah selalu punya cara untuk menguji hati.

“Ayah ingin Nisa menyelesaikan kuliahnya dulu. Dua tahun lagi,” kata ayahnya dengan tenang.

Aku menerima keputusan itu. Tak mengapa. Jika cinta ini benar, waktu dua tahun bukanlah hambatan, tapi ujian kesabaran.

Hari-hari berikutnya aku kembali dengan rutinitas. Zikir dan doa tak pernah absen. Dalam setiap butir tasbih, aku tetap menyebut namanya, meski tak lagi bertemu secara langsung. Aku tidak ingin mengganggu prosesnya. Aku hanya ingin ia tahu, aku menunggunya, dengan caraku.



Dua tahun kemudian, saat aku sudah bekerja di sebuah perusahaan teknik lingkungan, aku kembali mendatangi rumahnya. Dengan niat yang sama, tapi keyakinan yang lebih dalam.

Kali ini, ayahnya mengangguk. Dan Nisa, dengan mata yang berbinar, menjawab pelan, “Saya bersedia.”

Hari itu, aku menangis dalam sujud. Bukan karena aku berhasil mendapatkan cintanya, tapi karena aku berhasil menjaga cinta itu tetap suci sampai waktunya tiba.



Kini, setiap malam sebelum tidur, aku dan Nisa duduk berdua. Di antara kami, tasbih kayu cendana itu masih setia. Kami berzikir bersama, saling mengingatkan, saling menuntun.


Dan aku tahu, cinta yang berawal dari tasbih… akan selamanya menemukan jalannya dalam doa-doa panjang kami.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...