Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh

Gambar
Ilustrasi foto Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh by pn gtree.com Aku mengingat betul malam itu. Hujan turun rintik, suara gerimis memukul-mukul atap seng kos nomor tujuh. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyatu menjadi kabut yang menyesakkan dada. Di kamarku, satu lampu kuning menggantung lesu, seperti nyawaku sendiri yang tinggal satu nyala tipis. Namaku Nadira. Aku sudah lima bulan menjalani hubungan jarak jauh dengan Arya, lelaki yang katanya mencintaiku sepenuh jiwa. Kami bertahan lewat janji, tawa virtual, dan puisi yang kami kirimkan tiap malam.....: “Aku percaya pada rindu, meski ia tak bertulang, karena setiap malam ia memelukku lebih erat dari manusia.”   Tapi ternyata, cinta yang jauh bukan sekadar rindu dan kata-kata. Ada sesuatu yang lebih jahat dari jarak: pengkhianatan. Hari itu, aku pulang lebih cepat dari kerja. Kos sunyi, hanya suara gemeretak hujan yang menemani. Saat membuka pintu kamarku, kulihat sepasang sepatu yang kukenal: sep...

Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kafe Tepi Kota


Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kafe Tepi Kota
Ilustrasi gambar ragambola.com


Cerita pendek oleh: Fiqi Andre

Hujan turun seperti rahasia yang tak sempat diceritakan. Langit kelabu memayungi jalanan kecil menuju kafe tua di pinggiran kota. Di sanalah aku duduk—sendiri, menggenggam cangkir yang sejak tadi dingin, menunggu seseorang yang sempat kutinggalkan dalam cerita yang tidak selesai.

Namanya Dira.

Dulu kami menyebut pertemuan sebagai takdir. Tapi sekarang, mungkin takdir hanya sedang mempermainkan waktu.

Sudut kafe ini tak berubah sejak lima tahun lalu. Dinding bata yang retak-retak masih ditemani lampu gantung kuning redup. Aroma kopi dan tanah basah mengambang di udara, menyatu dengan degup jantungku yang terlalu keras untuk kupahami.

Dan di sanalah dia datang—melangkah pelan, mengenakan jaket abu-abu yang sama seperti malam terakhir kami bertengkar.

"Sudut ini masih hangat, ya?" katanya sambil menarik kursi, duduk tepat di hadapanku.
Lalu ia berbisik pelan,

"Dalam jeda antara kopi dan hujan,
Ada kenangan yang belum padam."

Aku ingin marah, ingin bertanya kenapa ia datang setelah sekian lama. Tapi bibirku hanya sanggup berkata:

"Kau pergi tanpa suara,
Meninggalkan aku dengan rindu yang tak tahu caranya pulang."

Kami saling diam. Di sela-sela bunyi sendok dan tawa pelanggan lain, hanya ada keheningan yang menggantung.

"Aku kira kamu sudah melupakanku," ucapnya akhirnya.

"Mana mungkin daun lupa pada pohon tempatnya tumbuh?
Aku hanya belajar jatuh agar bisa mengenal rasa kehilangan."

Dira menatapku, matanya masih seperti dulu: menyimpan langit dan luka sekaligus.

"Aku menikah," katanya perlahan.

Aku menelan ludah. Tidak pahit. Tapi tajam seperti serpihan gelas.

"Dan aku bercerai dua bulan lalu," lanjutnya.

Petir menggulung pelan. Hujan makin deras. Tapi rasanya dunia justru terdiam.

Aku menjawab dengan puisi yang hampir tak terdengar:
"Waktu mengajariku menunggu tanpa jaminan kembali,
Tapi mengapa kau datang saat aku belajar mengikhlaskanmu sepenuhnya?"

Dira menggigit bibirnya. Tangannya gemetar saat meraih cangkir.

"Aku kira kamu bahagia tanpa aku."

Aku tertawa pelan, pahit.
"Kebahagiaanku hanya ilusi dalam cermin retak,
Bayanganmu selalu menghantui tiap pagi yang kuanggap cerah."

"Kenapa kita begitu bodoh waktu itu?"

Aku menatap matanya dan menjawab,
"Karena kita lebih sibuk ingin benar,
Daripada saling memahami luka."

Kafe itu semakin sunyi. Orang-orang mulai pergi satu per satu. Tapi kami tetap tinggal—dua jiwa yang pernah bersatu, terpisah oleh ego, dan kini bertemu dalam kemungkinan yang mustahil.

"Aku tak meminta kembali," katanya, "Aku hanya ingin tahu... apakah masih ada aku di hatimu?"

Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk pelan. Tapi aku tidak bisa berbohong.

"Hatiku sudah menjadi museum kenangan,
Dan kamu adalah lukisan yang tak pernah kulepas dari dindingnya."

Ia menangis. Aku ingin menyentuh tangannya, tapi aku tahu batas. Masa lalu tak bisa diseret ke masa kini tanpa luka baru.

"Kau akan menikah juga?"

Aku menggeleng. "Aku terlalu sibuk mencintai bayanganmu."

"Lalu... apa kita bisa mulai lagi?"
suaranya lirih,
seperti doa yang takut dikabulkan.

Aku menarik napas panjang, menatap langit yang masih sendu.

"Kita bisa mulai,
Tapi bukan dari tempat yang sama.
Karena cinta bukan soal kembali,
Tapi belajar berjalan berdampingan dengan luka."

Kami bangkit. Hujan masih deras. Tapi langkah kami lebih ringan dari beban lima tahun yang lalu.

Saat ia melangkah keluar dari kafe, ia menoleh dan berbisik:

"Jika suatu saat kau kembali ke sudut ini,
Bawalah hatimu yang baru,
Agar kita bisa bicara tanpa dendam."

Aku mengangguk. Karena hari itu aku tahu, bukan semua cinta harus berakhir dengan bersama. Beberapa cinta cukup diselesaikan dengan pertemuan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan