Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kafe Tepi Kota


Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kafe Tepi Kota
Ilustrasi gambar ragambola.com


Cerita pendek oleh: Fiqi Andre

Hujan turun seperti rahasia yang tak sempat diceritakan. Langit kelabu memayungi jalanan kecil menuju kafe tua di pinggiran kota. Di sanalah aku duduk—sendiri, menggenggam cangkir yang sejak tadi dingin, menunggu seseorang yang sempat kutinggalkan dalam cerita yang tidak selesai.

Namanya Dira.

Dulu kami menyebut pertemuan sebagai takdir. Tapi sekarang, mungkin takdir hanya sedang mempermainkan waktu.

Sudut kafe ini tak berubah sejak lima tahun lalu. Dinding bata yang retak-retak masih ditemani lampu gantung kuning redup. Aroma kopi dan tanah basah mengambang di udara, menyatu dengan degup jantungku yang terlalu keras untuk kupahami.

Dan di sanalah dia datang—melangkah pelan, mengenakan jaket abu-abu yang sama seperti malam terakhir kami bertengkar.

"Sudut ini masih hangat, ya?" katanya sambil menarik kursi, duduk tepat di hadapanku.
Lalu ia berbisik pelan,

"Dalam jeda antara kopi dan hujan,
Ada kenangan yang belum padam."

Aku ingin marah, ingin bertanya kenapa ia datang setelah sekian lama. Tapi bibirku hanya sanggup berkata:

"Kau pergi tanpa suara,
Meninggalkan aku dengan rindu yang tak tahu caranya pulang."

Kami saling diam. Di sela-sela bunyi sendok dan tawa pelanggan lain, hanya ada keheningan yang menggantung.

"Aku kira kamu sudah melupakanku," ucapnya akhirnya.

"Mana mungkin daun lupa pada pohon tempatnya tumbuh?
Aku hanya belajar jatuh agar bisa mengenal rasa kehilangan."

Dira menatapku, matanya masih seperti dulu: menyimpan langit dan luka sekaligus.

"Aku menikah," katanya perlahan.

Aku menelan ludah. Tidak pahit. Tapi tajam seperti serpihan gelas.

"Dan aku bercerai dua bulan lalu," lanjutnya.

Petir menggulung pelan. Hujan makin deras. Tapi rasanya dunia justru terdiam.

Aku menjawab dengan puisi yang hampir tak terdengar:
"Waktu mengajariku menunggu tanpa jaminan kembali,
Tapi mengapa kau datang saat aku belajar mengikhlaskanmu sepenuhnya?"

Dira menggigit bibirnya. Tangannya gemetar saat meraih cangkir.

"Aku kira kamu bahagia tanpa aku."

Aku tertawa pelan, pahit.
"Kebahagiaanku hanya ilusi dalam cermin retak,
Bayanganmu selalu menghantui tiap pagi yang kuanggap cerah."

"Kenapa kita begitu bodoh waktu itu?"

Aku menatap matanya dan menjawab,
"Karena kita lebih sibuk ingin benar,
Daripada saling memahami luka."

Kafe itu semakin sunyi. Orang-orang mulai pergi satu per satu. Tapi kami tetap tinggal—dua jiwa yang pernah bersatu, terpisah oleh ego, dan kini bertemu dalam kemungkinan yang mustahil.

"Aku tak meminta kembali," katanya, "Aku hanya ingin tahu... apakah masih ada aku di hatimu?"

Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk pelan. Tapi aku tidak bisa berbohong.

"Hatiku sudah menjadi museum kenangan,
Dan kamu adalah lukisan yang tak pernah kulepas dari dindingnya."

Ia menangis. Aku ingin menyentuh tangannya, tapi aku tahu batas. Masa lalu tak bisa diseret ke masa kini tanpa luka baru.

"Kau akan menikah juga?"

Aku menggeleng. "Aku terlalu sibuk mencintai bayanganmu."

"Lalu... apa kita bisa mulai lagi?"
suaranya lirih,
seperti doa yang takut dikabulkan.

Aku menarik napas panjang, menatap langit yang masih sendu.

"Kita bisa mulai,
Tapi bukan dari tempat yang sama.
Karena cinta bukan soal kembali,
Tapi belajar berjalan berdampingan dengan luka."

Kami bangkit. Hujan masih deras. Tapi langkah kami lebih ringan dari beban lima tahun yang lalu.

Saat ia melangkah keluar dari kafe, ia menoleh dan berbisik:

"Jika suatu saat kau kembali ke sudut ini,
Bawalah hatimu yang baru,
Agar kita bisa bicara tanpa dendam."

Aku mengangguk. Karena hari itu aku tahu, bukan semua cinta harus berakhir dengan bersama. Beberapa cinta cukup diselesaikan dengan pertemuan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...