Ilutrasi foto Kupeluk Dia Saat Hujan, Tapi Namanya Bukan Aku yang Tertulis di Undangannya
chatgpt.com
Hujan turun deras sore itu. Aku berdiri di bawah atap halte tua, sementara kamu berlari kecil menyeberang jalan dengan payung biru yang sudah miring diterpa angin. Jantungku berdetak cepat begitu tubuhmu semakin dekat. Ada sesuatu dalam cara kamu tersenyum—seperti luka yang dipaksa tampak baik-baik saja.
Aku ingin memanggil namamu, tapi suaraku tenggelam bersama deru hujan. Lalu tanpa sadar, kamu menepi di sampingku, menutup payungmu yang sudah basah kuyup.
“Kamu sendirian?” tanyamu, lirih, seakan takut jawabanku akan melukai.
Aku hanya mengangguk. Mataku tak bisa berhenti menatap wajahmu. Ada jarak yang menyesakkan, padahal kita berdiri begitu dekat.
“Hujan adalah rahasia,
yang menutupi luka di dada.
Aku ingin bicara,
tapi kata-kata tenggelam bersama derasnya.”
Aku memberanikan diri. “Kenapa kamu di sini? Bukannya harusnya kamu sibuk persiapan…?”
Kamu terdiam. Sorot matamu tiba-tiba jatuh ke tanah, menolak bertemu dengan mataku. Aku tahu, ada sesuatu yang berusaha kamu sembunyikan.
“Aku hanya… ingin menenangkan diri,” jawabmu akhirnya. Suara itu terdengar bergetar.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan gelombang yang mengguncang di dadaku. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi kata-kata itu terasa seperti duri di tenggorokan.
Aku menatap jemarimu yang dingin, lalu refleks kugenggam erat. Kamu sedikit terkejut, namun tidak menolak. Tubuhmu bahkan bergetar, entah karena dingin atau karena sesuatu yang tidak ingin kamu akui.
“Aku masih berharap kamu membatalkan semuanya,” kataku, lirih namun tegas.
Kamu menoleh cepat, seakan tidak percaya aku berani mengucapkannya. “Kamu tahu aku tidak bisa,” ucapmu, mencoba terdengar tegar.
“Cinta adalah pedang bermata dua,
menusuk hati pemiliknya juga.
Aku ingin menyerah,
tapi bagaimana mungkin pada doa yang setiap malam kusebut namamu?”
Aku menatap matamu dalam-dalam, menantang segala alasan yang ingin kau ucapkan. “Kenapa bukan aku? Kenapa dia yang kau pilih? Bukankah aku yang selalu ada saat kamu jatuh, saat kamu menangis, saat kamu kehilangan arah?”
Kamu terdiam, matamu berkaca-kaca. Aku tahu kamu ingin berkata sesuatu, tapi bibirmu hanya bergetar tanpa suara.
“Aku mencintaimu,” kataku dengan suara patah. “Sejak awal, sampai detik ini. Dan aku tahu, kamu juga mencintaiku, meski kamu terus menyangkal.”
Air mata akhirnya jatuh di pipimu, menyatu dengan air hujan. Kamu menutup wajahmu dengan tangan, namun aku menariknya, memelukmu erat di tengah derasnya hujan.
“Jangan buat aku melepaskanmu, bukan sekarang,” bisikku di telingamu.
“Pelukku mungkin rapuh,
tapi di sinilah rumahmu.
Jika kau tetap memilih pergi,
biarlah tubuhku yang lebih dulu hancur oleh badai.”
Kamu menangis dalam pelukanku. Aku merasakan betapa tubuhmu gemetar, betapa batinmu hancur. Tapi kemudian, dengan suara bergetar, kamu berbisik, “Namanya sudah tertulis di undangan… bukan namamu.”
Aku membeku. Kata-kata itu lebih tajam dari pisau manapun. Aku ingin menjerit, ingin memprotes, tapi apa gunanya? Segalanya sudah terlambat.
Aku melepas pelukan perlahan, menatap wajahmu yang penuh air mata. “Jadi… semua ini hanya sementara? Kamu datang ke sini hanya untuk berpamitan?”
Kamu menggeleng, lalu menatapku dengan mata yang penuh luka. “Aku datang karena aku masih ingin merasakanmu… untuk terakhir kali.”
Hujan semakin deras. Dunia seakan ikut menangisi kita.
Aku menghela napas panjang, lalu menempelkan keningku di keningmu. “Kalau begitu… biarkan aku memelukmu sekali lagi, seolah dunia hanya milik kita, meski besok kamu akan menjadi miliknya.”
“Biarlah hujan mencatat,
bahwa aku pernah memiliki pelukanmu.
Meski undangan menuliskan nama orang lain,
aku tetap menuliskanmu di hatiku, selamanya.”
Kamu menangis dalam diam, sementara aku memelukmu erat, seakan tidak ada esok. Aku tahu setelah hujan reda, kamu akan pergi. Dan aku… hanya akan tinggal bersama luka yang tak pernah bisa sembuh.
Namun setidaknya, di bawah hujan sore itu, aku bisa jujur bahwa aku mencintaimu, meski dunia menuliskan kisah kita dengan tinta yang salah.
Komentar
Posting Komentar