Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Cerita Pendek Romantis "Di Bawah Hujan yang Sama"

sepaang keksih
Ilustrasi foto Cerita Pendek Romantis "Di Bawah Hujan yang Sama"
merdeka.com


Aku masih ingat betul sore itu. Langit berwarna kelabu, hujan turun deras membasahi jalanan, dan aku berdiri di depan halte dengan tubuh menggigil. Aku tidak membawa payung, hanya mengenakan jaket tipis yang jelas tak mampu menahan dinginnya hujan bulan November. Aku berulang kali mengusap tangan, berharap sedikit hangat, tapi tetap saja dingin merayap ke tulang.

Di tengah rasa resah itu, aku mendengar suara langkah mendekat. Seorang pria berdiri di sampingku, tinggi, dengan payung hitam besar di tangannya. Dia menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. Senyuman itu sederhana, tapi entah mengapa mampu mencairkan udara beku di sekitarku.

“Kamu nggak bawa payung?” tanyanya ramah.

Aku menggeleng sambil tersenyum canggung. “Aku pikir hujan nggak akan turun… ternyata aku salah.”

Dia tertawa kecil. Suara tawanya terdengar hangat, seakan hujan tidak berhasil membuatnya kedinginan. “Kalau gitu, kita pulang bareng aja. Aku juga mau ke arah kampus, mungkin sejalan.”

Awalnya aku ragu. Aku bukan tipe orang yang mudah mempercayai orang asing. Tapi tatapan matanya teduh, tidak memaksa, justru seolah sedang menawarkan perlindungan. Akhirnya aku mengangguk pelan.

Kami berjalan beriringan di bawah payung yang sama. Hujan masih deras, menimbulkan riuh di jalanan, tapi entah kenapa aku merasa tenang. Ada ruang sempit yang hangat di bawah payung itu, dan di sanalah aku merasa waktu berhenti sejenak.

“Aku Raka,” katanya memperkenalkan diri.

“Aku, Arin.”

Sejak saat itu, hujan selalu jadi alasan kami bertemu. Kadang kami sengaja menunggu di halte yang sama meskipun arah pulang berbeda. Kadang kami berjalan lebih jauh hanya agar percakapan tidak berhenti. Hujan menjadi saksi awal kisah yang tumbuh diam-diam di antara kami.

Hari demi hari, aku mulai menyadari bahwa Raka bukan hanya sekadar teman meneduh. Dia selalu tahu bagaimana membuatku tersenyum. Saat aku stres dengan tugas kuliah, dia datang membawa segelas cokelat panas. Saat aku menangis karena masalah keluarga, dia mendengarkan tanpa menghakimi. Sederhana, tapi bermakna.

Suatu sore, hujan turun lagi. Kami duduk berdua di bangku taman kampus, payung hitam setia melindungi dari rintik. Aku menggenggam bukuku erat, berusaha menahan gejolak di dada. Aku tahu perasaan ini sudah tumbuh terlalu dalam. Tapi aku takut, takut jika mengatakannya justru akan mengubah segalanya.

Raka menatapku lama, seolah membaca isi pikiranku. “Arin,” suaranya lembut, “kamu pernah nggak, merasa hujan itu bukan cuma air yang jatuh dari langit, tapi juga cara Tuhan mempertemukan orang-orang?”

Aku menoleh, menatap matanya yang jujur. “Kenapa tanya begitu?”

Dia menarik napas, lalu tersenyum kecil. “Karena aku merasa Tuhan kirim hujan supaya aku bisa ketemu kamu.”

Jantungku berdegup kencang. Kata-kata itu sederhana, tapi aku tahu betapa tulusnya. Hujan di sekeliling kami semakin deras, tapi di dalam payung itu, aku merasakan kehangatan yang luar biasa.

Aku tertawa gugup, lalu berkata lirih, “Kalau begitu… aku bersyukur hujan selalu datang.”

Sejak pengakuan itu, hubungan kami semakin jelas. Kami bukan lagi dua orang asing yang kebetulan meneduh di halte. Kami adalah dua hati yang saling menemukan rumah dalam diri masing-masing.

Waktu berjalan. Ada pertengkaran kecil, ada kesalahpahaman, bahkan ada air mata. Tapi setiap kali hujan datang, kami selalu kembali. Kami belajar bahwa cinta bukan hanya tentang manisnya tawa, tapi juga kesediaan bertahan di tengah badai.

Beberapa tahun kemudian, di sebuah sore yang kembali diguyur hujan, Raka mengajakku ke taman kampus tempat pertama kali kami mengobrol serius. Dia membawa payung hitam yang sama, meski sudah agak usang.

“Arin,” katanya sambil menatapku penuh harap, “kamu mau nggak, terus berjalan bareng aku di bawah hujan atau panas, dalam susah maupun senang?”

Tanganku bergetar ketika dia menyodorkan cincin kecil berkilau. Air mata menetes, bukan karena sedih, tapi karena aku merasa doa-doa kecilku selama ini benar-benar terjawab.

Aku mengangguk sambil tersenyum. “Aku mau, Raka. Selama kamu tetap jadi payungku, aku akan selalu di sisimu.”

Kami tertawa bersama, sementara hujan turun semakin deras. Tapi kali ini, aku tidak merasa dingin. Di bawah payung hitam yang sama, aku menemukan rumahku—bukan pada tempat, tapi pada hati seorang pria yang bernama Raka.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...