Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Cerita Pendek:Kau Datang Membawa Hujan, Tapi Pergi Sebelum Pelangiku Terbit

Cerita Pendek:Kau Datang Membawa Hujan, Tapi Pergi Sebelum Pelangiku Terbit
ilstrasi foto by pngtree.com


Langit sore itu muram. Awan menggantung seperti hati yang menahan tangis terlalu lama. Aku berjalan tanpa arah, hanya ingin melarikan diri dari sesuatu yang bahkan tak kumengerti.
Lalu kau datang — begitu saja — membawa payung, membawa tatapan yang menenangkan seolah seluruh badai di dalam dadaku berhenti berputar.

“Sendiri?” suaramu serak, namun lembut.
Aku hanya mengangguk.
Kau tersenyum, membuka payungmu sedikit lebar, lalu berjalan di sampingku tanpa banyak bicara.

Dan sejak itu, aku tahu… sesuatu di dunia berubah.

"Kau datang seperti doa yang diselipkan langit,

di antara rinai yang jatuh pelan.

Aku tak berdoa apa-apa,

tapi Tuhan mengirimkanmu—dengan payung dan senyum sederhana."

Kami terus berjalan, membiarkan langkah-langkah menulis kisah kecil di atas jalan basah.
Kau bercerita tentang hidupmu—tentang kesendirian, tentang luka, tentang seseorang yang tak lagi bisa kau panggil “rumah”. Aku mendengarkan, dan entah kenapa, semua kalimatmu terasa seperti puisi yang tak butuh rima.

“Lucu, ya,” katamu tiba-tiba. “Hujan bisa mempertemukan dua orang asing yang sama-sama tidak tahu harus ke mana.”
Aku tersenyum.
Dan di antara rintik yang jatuh, aku menemukan rumah di matamu.


Hari-hari setelahnya terasa lebih hidup. Aku mulai mencintai aroma tanah basah. Setiap kali langit menutup wajahnya, aku tahu kau akan datang. Dengan payung yang sama, dengan langkah yang sama, dengan tatapan yang membuat waktu berhenti sesaat.

Kita menertawakan hal-hal kecil.
Kau menyeduh kopi untukku di warung kecil pinggir jalan.
Kau bilang, “Cinta itu seperti kopi hitam, kadang pahit tapi hangatnya menetap.”
Aku menatapmu lama, diam-diam menyimpan ucapan itu jauh di dada

"Di bawah payungmu,
aku belajar arti tenang.
Bukan karena hujan berhenti,
tapi karena kau tetap di sana,
saat dunia terasa asing."

Namun tak ada yang abadi, bukan?
Sore itu, saat hujan turun lebih deras dari biasanya, kau menatapku dengan pandangan yang berbeda. Ada gugup, ada getir.

“Kalau hujan berhenti… kamu masih mau ketemu aku?” tanyamu.
Aku tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa takutku. “Tentu. Kenapa tidak?”
Kau tidak menjawab. Hanya menatap langit, seolah sedang berpamitan pada sesuatu yang tak bisa kulihat.

Dan benar saja—setelah hari itu, kau tak pernah datang lagi.


Aku menunggu.
Hari demi hari.
Payungku tetap kusimpan di sisi pintu, siap sedia kalau hujan datang. Tapi yang kutemui hanya sunyi.
Kursi di warung itu kosong. Jalan itu tetap basah, tapi tanpa jejak langkahmu.


"Hujan datang lagi,
tapi kini tanpa kau di bawahnya.
Aku bicara pada udara,
berharap suaramu masih tersangkut di antara rinainya."

Aku mulai sadar, mungkin kau memang bukan untuk tinggal.
Kau hanya mampir seperti hujan yang menyapa bumi, lalu pergi sebelum pelangi sempat menampakkan diri.
Kau datang untuk menumbuhkan sesuatu—bukan untuk menjadi bagian darinya.

Namun bagaimana mungkin aku melupakanmu,
sementara setiap tetes hujan masih mengucapkan namamu dengan bahasa yang lembut?


Hari ini, langit kembali menangis. Aku berdiri di tempat yang sama, tapi tidak lagi menunggu siapa pun. Hujan turun lembut, dan aku membuka payungku sendiri.
Di seberang jalan, sepasang kekasih berlari sambil tertawa. Ada sesuatu yang menyesak, tapi juga melegakan.


"Ternyata,
beberapa orang hanya diciptakan
untuk menjadi kenangan yang indah—
bukan akhir yang bahagia."

Aku menatap langit yang perlahan cerah.
Samar-samar, kulihat pelangi muncul di ujung cakrawala. Warnanya lembut, tidak seindah dulu mungkin, tapi cukup untuk membuatku tersenyum.

Mungkin inilah maknanya:
Kau datang membawa hujan,
agar aku belajar berteduh sendirian.
Kau pergi sebelum pelangiku terbit,
agar aku tahu bahwa luka pun bisa menumbuhkan cahaya.


"Kini aku bukan lagi gadis yang menunggu di bawah hujan,
tapi langit yang memaafkan awannya sendiri."

Aku menutup payung, menatap langit dengan dada yang lebih lapang.
Dan untuk terakhir kalinya, aku berbisik pelan—mungkin pada udara, mungkin pada kenanganmu:

“Terima kasih…
sudah datang membawa hujan.
Meski pergi sebelum pelangiku sempat terbit.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...