.jpeg) |
Cerita Pendek:Kau Datang Membawa Hujan, Tapi Pergi Sebelum Pelangiku Terbit ilstrasi foto by pngtree.com |
Langit sore itu muram. Awan menggantung seperti hati yang menahan tangis terlalu lama. Aku berjalan tanpa arah, hanya ingin melarikan diri dari sesuatu yang bahkan tak kumengerti.
Lalu kau datang — begitu saja — membawa payung, membawa tatapan yang menenangkan seolah seluruh badai di dalam dadaku berhenti berputar.
“Sendiri?” suaramu serak, namun lembut.
Aku hanya mengangguk.
Kau tersenyum, membuka payungmu sedikit lebar, lalu berjalan di sampingku tanpa banyak bicara.
Dan sejak itu, aku tahu… sesuatu di dunia berubah.
"Kau datang seperti doa yang diselipkan langit,
di antara rinai yang jatuh pelan.
Aku tak berdoa apa-apa,
tapi Tuhan mengirimkanmu—dengan payung dan senyum sederhana."
Kami terus berjalan, membiarkan langkah-langkah menulis kisah kecil di atas jalan basah.
Kau bercerita tentang hidupmu—tentang kesendirian, tentang luka, tentang seseorang yang tak lagi bisa kau panggil “rumah”. Aku mendengarkan, dan entah kenapa, semua kalimatmu terasa seperti puisi yang tak butuh rima.
“Lucu, ya,” katamu tiba-tiba. “Hujan bisa mempertemukan dua orang asing yang sama-sama tidak tahu harus ke mana.”
Aku tersenyum.
Dan di antara rintik yang jatuh, aku menemukan rumah di matamu.
Hari-hari setelahnya terasa lebih hidup. Aku mulai mencintai aroma tanah basah. Setiap kali langit menutup wajahnya, aku tahu kau akan datang. Dengan payung yang sama, dengan langkah yang sama, dengan tatapan yang membuat waktu berhenti sesaat.
Kita menertawakan hal-hal kecil.
Kau menyeduh kopi untukku di warung kecil pinggir jalan.
Kau bilang, “Cinta itu seperti kopi hitam, kadang pahit tapi hangatnya menetap.”
Aku menatapmu lama, diam-diam menyimpan ucapan itu jauh di dada
"Di bawah payungmu,
aku belajar arti tenang.
Bukan karena hujan berhenti,
tapi karena kau tetap di sana,
saat dunia terasa asing."
Namun tak ada yang abadi, bukan?
Sore itu, saat hujan turun lebih deras dari biasanya, kau menatapku dengan pandangan yang berbeda. Ada gugup, ada getir.
“Kalau hujan berhenti… kamu masih mau ketemu aku?” tanyamu.
Aku tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa takutku. “Tentu. Kenapa tidak?”
Kau tidak menjawab. Hanya menatap langit, seolah sedang berpamitan pada sesuatu yang tak bisa kulihat.
Dan benar saja—setelah hari itu, kau tak pernah datang lagi.
Aku menunggu.
Hari demi hari.
Payungku tetap kusimpan di sisi pintu, siap sedia kalau hujan datang. Tapi yang kutemui hanya sunyi.
Kursi di warung itu kosong. Jalan itu tetap basah, tapi tanpa jejak langkahmu.
"Hujan datang lagi,
tapi kini tanpa kau di bawahnya.
Aku bicara pada udara,
berharap suaramu masih tersangkut di antara rinainya."
Aku mulai sadar, mungkin kau memang bukan untuk tinggal.
Kau hanya mampir seperti hujan yang menyapa bumi, lalu pergi sebelum pelangi sempat menampakkan diri.
Kau datang untuk menumbuhkan sesuatu—bukan untuk menjadi bagian darinya.
Namun bagaimana mungkin aku melupakanmu,
sementara setiap tetes hujan masih mengucapkan namamu dengan bahasa yang lembut?
Hari ini, langit kembali menangis. Aku berdiri di tempat yang sama, tapi tidak lagi menunggu siapa pun. Hujan turun lembut, dan aku membuka payungku sendiri.
Di seberang jalan, sepasang kekasih berlari sambil tertawa. Ada sesuatu yang menyesak, tapi juga melegakan.
"Ternyata,
beberapa orang hanya diciptakan
untuk menjadi kenangan yang indah—
bukan akhir yang bahagia."
Aku menatap langit yang perlahan cerah.
Samar-samar, kulihat pelangi muncul di ujung cakrawala. Warnanya lembut, tidak seindah dulu mungkin, tapi cukup untuk membuatku tersenyum.
Mungkin inilah maknanya:
Kau datang membawa hujan,
agar aku belajar berteduh sendirian.
Kau pergi sebelum pelangiku terbit,
agar aku tahu bahwa luka pun bisa menumbuhkan cahaya.
"Kini aku bukan lagi gadis yang menunggu di bawah hujan,
tapi langit yang memaafkan awannya sendiri."
Aku menutup payung, menatap langit dengan dada yang lebih lapang.
Dan untuk terakhir kalinya, aku berbisik pelan—mungkin pada udara, mungkin pada kenanganmu:
“Terima kasih…
sudah datang membawa hujan.
Meski pergi sebelum pelangiku sempat terbit.”
Komentar
Posting Komentar