"Cintaku Kandas di Pelaminan: Undangan Itu Bukan Atas Namaku"
Hari itu, aku menerima sebuah amplop putih dengan pita emas di atasnya. Di pojok kiri tertera nama pengirim yang membuat jantungku hampir melompat keluar: Ardi. Lelaki yang selama tiga tahun terakhir menanamkan harapan di hatiku. Tanganku gemetar membuka segel itu, seolah di dalamnya tersimpan jawaban dari doa-doa panjangku.
Tapi ketika kertas undangan itu terbentang, mataku nyaris tak percaya. Nama pengantinnya: Ardi & Rani.
Aku terdiam. Napasku membeku. Ruangan di sekelilingku seakan runtuh, menyisakan bunyi detak jantung yang bergema di telingaku. Rani—teman kuliahku sendiri.
Aku menjatuhkan tubuhku ke kursi, memandangi undangan itu berkali-kali. Tinta emasnya berkilau, menertawakan kebodohanku yang selama ini percaya pada janji manis Ardi.
Malamnya, aku memberanikan diri menghubungi Ardi. Teleponku berdering beberapa kali sebelum ia mengangkat.
“Halo, Ra?” suaranya tenang, seolah tak terjadi apa-apa.
“Ardi...” suaraku tercekat. “Undangan itu... apa maksudnya?”
Sunyi sebentar. Lalu ia menarik napas. “Aku minta maaf. Aku tak bisa menepati janji itu.”
Aku terdiam, air mata jatuh tanpa izin. “Jadi semua kata-katamu selama ini... bohong?”
“Aku mencintaimu, Ra. Tapi keluargaku... mereka memaksa. Aku tak bisa melawan.”
Aku tertawa hambar. “Cinta macam apa yang kalah pada paksaan, Ardi? Bukankah dulu kau berkata—”
Aku berhenti sejenak, lalu melantunkan bait yang pernah kami bisikkan bersama.
"Jika cinta adalah pelabuhan,
maka aku rela menunggu,
meski ombak menghantam,
meski kapal karam,
asal kau tetap kembali padaku."
Ardi terdiam di ujung telepon. Aku bisa mendengar nafasnya berat, seperti menahan tangis.
“Ra... jangan buat ini makin sulit. Aku... aku hanya manusia lemah.”
Hari pernikahan itu tiba. Aku berdiri di luar gedung megah yang penuh lampu. Musik riang mengalun, tawa tamu undangan bergema. Tapi di dalam dadaku, badai bergulung-gulung.
Aku melihat Ardi di pelaminan. Ia tampan dengan jas hitamnya, senyumnya terpampang untuk semua orang. Tapi aku tahu, di balik senyum itu ada luka yang sama besar dengan milikku.
Rani berdiri di sampingnya, anggun dalam gaun putih. Aku tak membenci dia, tapi hatiku hancur melihatnya menggenggam tangan lelaki yang seharusnya menjadi milikku.
Aku berani melangkah masuk, melewati tamu-tamu yang tak mengenal luka di wajahku. Hingga akhirnya aku berdiri di hadapan mereka.
“Selamat, Ardi,” ucapku dengan suara lirih, namun cukup terdengar.
Mata Ardi membelalak, bibirnya bergetar. “Ra...”
Rani tersenyum, tapi matanya penuh curiga. “Terima kasih sudah datang, Ra.”
Aku tersenyum pahit. “Aku datang bukan untuk merusak. Aku hanya ingin mengembalikan janji yang pernah kau titipkan padaku, Ardi.”
Lalu aku mengucapkan dengan nada seperti puisi, agar semua orang mendengarnya:
"Kau pernah berjanji menuliskan namaku,
di samping namamu,
dalam sebuah undangan suci.
Tapi kini aku hanya pembaca,
bukan pemeran utama,
hanya tamu di kisah cinta yang tak kumengerti."
Ruangan seketika hening. Semua mata tertuju padaku. Ardi menunduk, wajahnya pucat.
“Aku ikhlas,” lanjutku, meski air mata terus mengalir. “Karena cinta sejati bukan memaksa untuk memiliki, tapi rela melepas meski hati terkoyak.”
Aku berbalik, meninggalkan pelaminan dengan langkah yang terasa berat seperti memanggul seluruh beban dunia.
Di luar gedung, hujan turun tiba-tiba. Aku berjalan tanpa payung, membiarkan air menutupi air mataku.
Dalam hati aku berbisik, untuk Ardi, untuk diriku sendiri:
"Aku mencintaimu dalam diam,
melepasmu dalam luka.
Bila kau bahagia meski bukan denganku,
maka biarlah hujan ini jadi saksi,
aku pernah menaruh seluruh hidupku padamu."
Dan malam itu aku sadar, undangan itu bukan akhir dari segalanya. Itu hanyalah awal dari perjalanan baru: belajar mencintai tanpa harus memiliki, belajar sembuh meski hatiku bersimbah darah.
Komentar
Posting Komentar