Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Cerita Pendek:"Cintaku Kandas di Pelaminan: Undangan Itu Bukan Atas Namaku"

 

"Cintaku Kandas di Pelaminan: Undangan Itu Bukan Atas Namaku"
"Cintaku Kandas di Pelaminan: Undangan Itu Bukan Atas Namaku"



Hari itu, aku menerima sebuah amplop putih dengan pita emas di atasnya. Di pojok kiri tertera nama pengirim yang membuat jantungku hampir melompat keluar: Ardi. Lelaki yang selama tiga tahun terakhir menanamkan harapan di hatiku. Tanganku gemetar membuka segel itu, seolah di dalamnya tersimpan jawaban dari doa-doa panjangku.

Tapi ketika kertas undangan itu terbentang, mataku nyaris tak percaya. Nama pengantinnya: Ardi & Rani.

Aku terdiam. Napasku membeku. Ruangan di sekelilingku seakan runtuh, menyisakan bunyi detak jantung yang bergema di telingaku. Rani—teman kuliahku sendiri.

Aku menjatuhkan tubuhku ke kursi, memandangi undangan itu berkali-kali. Tinta emasnya berkilau, menertawakan kebodohanku yang selama ini percaya pada janji manis Ardi.


Malamnya, aku memberanikan diri menghubungi Ardi. Teleponku berdering beberapa kali sebelum ia mengangkat.

“Halo, Ra?” suaranya tenang, seolah tak terjadi apa-apa.

“Ardi...” suaraku tercekat. “Undangan itu... apa maksudnya?”

Sunyi sebentar. Lalu ia menarik napas. “Aku minta maaf. Aku tak bisa menepati janji itu.”

Aku terdiam, air mata jatuh tanpa izin. “Jadi semua kata-katamu selama ini... bohong?”

“Aku mencintaimu, Ra. Tapi keluargaku... mereka memaksa. Aku tak bisa melawan.”

Aku tertawa hambar. “Cinta macam apa yang kalah pada paksaan, Ardi? Bukankah dulu kau berkata—”


Aku berhenti sejenak, lalu melantunkan bait yang pernah kami bisikkan bersama.

"Jika cinta adalah pelabuhan,

maka aku rela menunggu,

meski ombak menghantam,

meski kapal karam,

asal kau tetap kembali padaku."


Ardi terdiam di ujung telepon. Aku bisa mendengar nafasnya berat, seperti menahan tangis.

“Ra... jangan buat ini makin sulit. Aku... aku hanya manusia lemah.”


Hari pernikahan itu tiba. Aku berdiri di luar gedung megah yang penuh lampu. Musik riang mengalun, tawa tamu undangan bergema. Tapi di dalam dadaku, badai bergulung-gulung.

Aku melihat Ardi di pelaminan. Ia tampan dengan jas hitamnya, senyumnya terpampang untuk semua orang. Tapi aku tahu, di balik senyum itu ada luka yang sama besar dengan milikku.

Rani berdiri di sampingnya, anggun dalam gaun putih. Aku tak membenci dia, tapi hatiku hancur melihatnya menggenggam tangan lelaki yang seharusnya menjadi milikku.

Aku berani melangkah masuk, melewati tamu-tamu yang tak mengenal luka di wajahku. Hingga akhirnya aku berdiri di hadapan mereka.

“Selamat, Ardi,” ucapku dengan suara lirih, namun cukup terdengar.

Mata Ardi membelalak, bibirnya bergetar. “Ra...”

Rani tersenyum, tapi matanya penuh curiga. “Terima kasih sudah datang, Ra.”

Aku tersenyum pahit. “Aku datang bukan untuk merusak. Aku hanya ingin mengembalikan janji yang pernah kau titipkan padaku, Ardi.”

Lalu aku mengucapkan dengan nada seperti puisi, agar semua orang mendengarnya:


"Kau pernah berjanji menuliskan namaku,

di samping namamu,

dalam sebuah undangan suci.

Tapi kini aku hanya pembaca,

bukan pemeran utama,

hanya tamu di kisah cinta yang tak kumengerti."


Ruangan seketika hening. Semua mata tertuju padaku. Ardi menunduk, wajahnya pucat.

“Aku ikhlas,” lanjutku, meski air mata terus mengalir. “Karena cinta sejati bukan memaksa untuk memiliki, tapi rela melepas meski hati terkoyak.”

Aku berbalik, meninggalkan pelaminan dengan langkah yang terasa berat seperti memanggul seluruh beban dunia.


Di luar gedung, hujan turun tiba-tiba. Aku berjalan tanpa payung, membiarkan air menutupi air mataku.

Dalam hati aku berbisik, untuk Ardi, untuk diriku sendiri:


"Aku mencintaimu dalam diam,

melepasmu dalam luka.

Bila kau bahagia meski bukan denganku,

maka biarlah hujan ini jadi saksi,

aku pernah menaruh seluruh hidupku padamu."


Dan malam itu aku sadar, undangan itu bukan akhir dari segalanya. Itu hanyalah awal dari perjalanan baru: belajar mencintai tanpa harus memiliki, belajar sembuh meski hatiku bersimbah darah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...