Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by
https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/
Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan.
“Siap?” tanyaku pelan.
Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.”
Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan.
Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing.
“Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu.
“Kenapa?”
“Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku juga dimulai dari sesuatu yang nyata.”
Aku tertawa kecil. “Jadi… aku ini pijakanmu?”
Kau menggigit bibir menahan senyum. “Mungkin lebih dari itu.”
Langkah kami semakin dalam ke hutan. Cahaya matahari menembus sela dedaunan, menciptakan lukisan cahaya yang indah di tanah. Aku memandangmu diam-diam. Entah sejak kapan, wajahmu menjadi pemandangan favoritku.
Di sela perjalanan, aku membacakan puisi kecil yang kuciptakan semalam.
“Jika lelah adalah puncak rasa,
maka biarkan aku jadi embun yang menenangkan.
Jika jalan ini menanjak tajam,
biarkan genggamanmu jadi alasan aku bertahan.”
Kau diam… lalu tersenyum. “Terlalu indah. Kamu serius bikin itu untukku?”
“Apa ada orang lain yang kuajak naik gunung?” balasku menggoda.
Kau tertawa, dan tawamu adalah semangat yang tidak pernah gagal menguatkanku.
Namun perjalanan tak selalu mulus. Setelah beberapa jam mendaki, kabut tiba-tiba menebal. Jalur yang seharusnya jelas berubah samar. Aku berhenti, menatap peta, lalu menatapmu.
“Sepertinya kita sedikit keluar jalur.”
Kau menghela napas pelan. Tidak marah. Tidak panik. “Kita masih punya waktu. Tenang. Kita cari tanda jalur lain.”
Aku kagum. Di tengah kebingungan, kau tetap menjadi tenang yang menular.
Tapi saat kami mencoba memutar arah, batu licin membuatmu terpeleset.
“Kau!” Aku sigap menangkapmu, namun tubuhmu tetap jatuh ke tanah, pergelangan kakimu terkilir.
“Aku… aku nggak apa-apa,” ucapmu, menahan sakit.
Wajahku menegang. “Istirahat dulu. Jangan paksakan.”
Namun kau keras kepala. “Kita sudah jauh… jangan berhenti.”
Aku menatap matamu—di sana ada rasa takut, tapi juga keinginan besar untuk terus melangkah. Aku berjongkok di depanku.
“Naik. Aku gendong.”
Kau terkejut. “Kamu gila?”
“Kalau itu caranya agar kamu tetap bersamaku menuju puncak, biar saja aku gila.”
Kau tertawa kecil, lalu perlahan naik ke punggungku. Walau berat, aku merasa hangat.
Di punggungku, kau berbisik pelan:
“Jika cinta adalah jarak,
biarlah aku jadi langkah yang mendekat.
Jika cinta adalah luka,
biarkan aku sembuh di pelukanmu.”
Dadaku bergetar. “Kau… selalu tahu cara membuatku jatuh cinta berkali-kali.”
Aku membawamu hingga menemui batu besar yang bisa kami jadikan tempat istirahat. Matahari mulai condong, langit mulai jingga.
“Aku takut,” katamu pelan.
“Takut apa?”
“Takut… kalau aku tak cukup kuat berjalan bersamamu.”
Aku tersenyum, mengusap rambutmu. “Cinta bukan tentang siapa yang paling kuat berjalan, tapi siapa yang mau saling menunggu.”
Tanganku menggenggam tanganmu erat.
“Kau… mau tetap berjalan bersamaku? Di gunung ini… dan dalam hidup nanti?” tanyaku lirih.
Kau terdiam. Senja menyinari wajahmu, membuatmu tampak seperti lukisan.
“Kupikir kamu nggak akan pernah tanya,” jawabmu pelan, matamu berkaca-kaca. “Ya. Aku mau.”
Dadaku penuh. Rasanya seperti mencapai puncak meski kami belum sampai.
Aku menarikmu ke pelukan. Kau bersandar di dadaku, mendengarkan detak jantungku.
“Di antara dingin dan kabut,
ada hangat yang tak pernah padam.
Di antara lelah dan luka,ada kamu—alasan aku bertahan.”
Malam turun perlahan. Kami mendirikan tenda dekat jalur yang lebih aman. Di depan api kecil, kita duduk berdampingan. Langit penuh bintang, jauh lebih indah dari kota mana pun.
“Kau tahu?” katamu pelan. “Aku selalu bermimpi melihat bintang seperti ini… tapi aku tak pernah tahu rasanya akan seindah ini… karena ada kamu.”
Aku menatapmu, menahan haru. “Aku juga tak pernah tahu… bahwa mencintai seseorang bisa sesederhana duduk di bawah langit, tanpa kata, tapi merasa lengkap.”
Kau menatapku. “Besok… kita lanjut ke puncak?”
Aku mengangguk. “Besok, kita tak hanya sampai puncak gunung. Kita sampai ke puncak cerita kita.”
Kau tersenyum kecil. “Kalau begitu… jangan lepaskan tanganku.”
Aku menggenggam tanganmu erat.
“Tak akan pernah.”
Dan malam itu, di bawah langit Penanggungan, aku sadar…
Gunung bukan hanya tempat mendaki.
Ia adalah saksi bahwa cinta bukan tentang siapa yang paling cepat sampai.
Tapi tentang siapa yang rela berhenti… saling menunggu… lalu melangkah lagi bersama.
Menuju puncak.
Bersama.
Selamanya.
Komentar
Posting Komentar