Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh
![]() |
Ilustrasi foto Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh by pngtree.com |
Aku mengingat betul malam itu. Hujan turun rintik, suara gerimis memukul-mukul atap seng kos nomor tujuh. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyatu menjadi kabut yang menyesakkan dada. Di kamarku, satu lampu kuning menggantung lesu, seperti nyawaku sendiri yang tinggal satu nyala tipis.
Namaku Nadira. Aku sudah lima bulan menjalani hubungan jarak jauh dengan Arya, lelaki yang katanya mencintaiku sepenuh jiwa. Kami bertahan lewat janji, tawa virtual, dan puisi yang kami kirimkan tiap malam.....:
“Aku percaya pada rindu, meski ia tak bertulang,karena setiap malam ia memelukku lebih erat dari manusia.”
Tapi ternyata, cinta yang jauh bukan sekadar rindu dan kata-kata. Ada sesuatu yang lebih jahat dari jarak: pengkhianatan.
Hari itu, aku pulang lebih cepat dari kerja. Kos sunyi, hanya suara gemeretak hujan yang menemani. Saat membuka pintu kamarku, kulihat sepasang sepatu yang kukenal: sepatu putih milik Arya... dan satu lagi... hak tinggi hitam milik siapa?
Tanganku gemetar.
Kupelankan langkah menuju kamar sebelah—kamar Anjani, teman kosku yang paling sering meminjam lipstikku, paling rajin bertanya kabar Arya. Kupikir dia hanya teman. Kupikir semua baik-baik saja.
Ternyata aku cuma tokoh cadangan dalam kisah mereka.
Kupelintir gagang pintu perlahan. Terbuka. Tubuh Arya dan Anjani menyatu dalam selimut tipis, nafas mereka saling memburu. Jantungku berhenti berdetak sesaat.
"ARYA!!"
Mereka tersentak. Anjani buru-buru menutupi tubuhnya. Arya berdiri, wajahnya pucat pasi. Tapi aku bukan marah. Aku beku. Suaraku dingin seperti hujan di luar.
"Kau tahu rasanya ditusuk dari belakang oleh dua orang yang kucintai?"
“Aku ini rumah yang kau tinggalkan,demi tenda yang mudah kau bongkar pasang.”
"Nadira... aku bisa jelaskan," Arya tergagap, tapi aku tertawa.
"Jelaskan? Apa kau akan bilang bahwa ini salahku karena kita LDR? Atau akan kau salahkan waktu karena mempertemukan kalian?"
Anjani menatapku, matanya berkaca-kaca. "Dira, aku nggak bermaksud..."
"Sudah cukup." Aku melangkah mundur. Tapi bukan untuk lari.
Malam itu, aku duduk di kamar, menyalakan lilin, dan menulis. Bukan puisi. Tapi rencana.
Tiga hari berlalu. Arya tak menghubungiku. Anjani bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Kos menjadi teater sunyi. Semua penghuni lain libur pulang kampung. Hanya kami bertiga yang tertinggal.
Malam itu aku menunggu.
Kutaruh dua cangkir kopi di meja. Satu untukku, satu untuknya. Anjani datang mengetuk pintu. Ia duduk, meminum kopi sambil bercerita tentang masa kecil kami. Betapa ia selalu iri padaku—aku yang cerdas, aku yang cantik, aku yang dapat Arya lebih dulu.
“Kau mencuri cahayaku tanpa kau sadari,” katanya.“Tapi aku tak sadar, kau menyimpan gelapmu sendiri.”
Aku tersenyum padanya. Memaafkan tanpa kata. Tapi di dalam tubuhku, racun sudah bekerja. Aku tahu dosis yang tepat. Dia batuk. Matanya membesar. Tubuhnya kejang-kejang. Dan dalam hitungan menit, ia meregang nyawa di karpetku yang lembut.
Saat Arya datang malam itu—ia melihat mayat Anjani lebih dulu, lalu aku yang duduk di sudut kamar, memeluk boneka beruang hadiah darinya, tersenyum tenang.
"Apa yang kau lakukan, Nadira?!"
"Aku hanya menyelamatkan cinta kita."
“Karena lebih baik dia mati,daripada terus hidup di hatimu.”
Ia menjerit. Tapi aku sudah siapkan pisau kecil dari dapur. Dan sebelum dia sempat kabur, aku tikam tepat di perutnya. Darah hangat mengenai wajahku. Aku memeluknya erat, seperti pelukan terakhir yang tak pernah ia beri sejak lima bulan lalu.
Sekarang, aku duduk di ruangan putih dengan dinding empuk. Mereka menyebutku gila. Tapi aku waras. Aku hanya terlalu mencinta.
“Cinta itu rumah, tapi juga bisa jadi kuburan,tergantung siapa yang masuk lebih dulu dan siapa yang dikubur terakhir.”
Mereka menatapku ngeri. Tapi aku masih menulis puisi, setiap malam.
Dan tiap kali hujan turun, aku mendengar suara Arya dan Anjani... memanggil dari balik langit-langit kamar ini.
Komentar
Posting Komentar