Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh

Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh
Ilustrasi foto Cerita Pendek:Senja Terakhir di Kos Nomor Tujuh by pngtree.com


Aku mengingat betul malam itu. Hujan turun rintik, suara gerimis memukul-mukul atap seng kos nomor tujuh. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyatu menjadi kabut yang menyesakkan dada. Di kamarku, satu lampu kuning menggantung lesu, seperti nyawaku sendiri yang tinggal satu nyala tipis.

Namaku Nadira. Aku sudah lima bulan menjalani hubungan jarak jauh dengan Arya, lelaki yang katanya mencintaiku sepenuh jiwa. Kami bertahan lewat janji, tawa virtual, dan puisi yang kami kirimkan tiap malam.....:


“Aku percaya pada rindu, meski ia tak bertulang,
karena setiap malam ia memelukku lebih erat dari manusia.” 

Tapi ternyata, cinta yang jauh bukan sekadar rindu dan kata-kata. Ada sesuatu yang lebih jahat dari jarak: pengkhianatan.

Hari itu, aku pulang lebih cepat dari kerja. Kos sunyi, hanya suara gemeretak hujan yang menemani. Saat membuka pintu kamarku, kulihat sepasang sepatu yang kukenal: sepatu putih milik Arya... dan satu lagi... hak tinggi hitam milik siapa?

Tanganku gemetar.

Kupelankan langkah menuju kamar sebelah—kamar Anjani, teman kosku yang paling sering meminjam lipstikku, paling rajin bertanya kabar Arya. Kupikir dia hanya teman. Kupikir semua baik-baik saja.

Ternyata aku cuma tokoh cadangan dalam kisah mereka.

Kupelintir gagang pintu perlahan. Terbuka. Tubuh Arya dan Anjani menyatu dalam selimut tipis, nafas mereka saling memburu. Jantungku berhenti berdetak sesaat.

"ARYA!!"

Mereka tersentak. Anjani buru-buru menutupi tubuhnya. Arya berdiri, wajahnya pucat pasi. Tapi aku bukan marah. Aku beku. Suaraku dingin seperti hujan di luar.


"Kau tahu rasanya ditusuk dari belakang oleh dua orang yang kucintai?"

“Aku ini rumah yang kau tinggalkan,
demi tenda yang mudah kau bongkar pasang.”

"Nadira... aku bisa jelaskan," Arya tergagap, tapi aku tertawa.

"Jelaskan? Apa kau akan bilang bahwa ini salahku karena kita LDR? Atau akan kau salahkan waktu karena mempertemukan kalian?"

Anjani menatapku, matanya berkaca-kaca. "Dira, aku nggak bermaksud..."

"Sudah cukup." Aku melangkah mundur. Tapi bukan untuk lari.

Malam itu, aku duduk di kamar, menyalakan lilin, dan menulis. Bukan puisi. Tapi rencana.


Tiga hari berlalu. Arya tak menghubungiku. Anjani bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Kos menjadi teater sunyi. Semua penghuni lain libur pulang kampung. Hanya kami bertiga yang tertinggal.

Malam itu aku menunggu.

Kutaruh dua cangkir kopi di meja. Satu untukku, satu untuknya. Anjani datang mengetuk pintu. Ia duduk, meminum kopi sambil bercerita tentang masa kecil kami. Betapa ia selalu iri padaku—aku yang cerdas, aku yang cantik, aku yang dapat Arya lebih dulu.


“Kau mencuri cahayaku tanpa kau sadari,” katanya.
“Tapi aku tak sadar, kau menyimpan gelapmu sendiri.”

Aku tersenyum padanya. Memaafkan tanpa kata. Tapi di dalam tubuhku, racun sudah bekerja. Aku tahu dosis yang tepat. Dia batuk. Matanya membesar. Tubuhnya kejang-kejang. Dan dalam hitungan menit, ia meregang nyawa di karpetku yang lembut.

Saat Arya datang malam itu—ia melihat mayat Anjani lebih dulu, lalu aku yang duduk di sudut kamar, memeluk boneka beruang hadiah darinya, tersenyum tenang.

"Apa yang kau lakukan, Nadira?!"

"Aku hanya menyelamatkan cinta kita."


“Karena lebih baik dia mati,
daripada terus hidup di hatimu.”

Ia menjerit. Tapi aku sudah siapkan pisau kecil dari dapur. Dan sebelum dia sempat kabur, aku tikam tepat di perutnya. Darah hangat mengenai wajahku. Aku memeluknya erat, seperti pelukan terakhir yang tak pernah ia beri sejak lima bulan lalu.


Sekarang, aku duduk di ruangan putih dengan dinding empuk. Mereka menyebutku gila. Tapi aku waras. Aku hanya terlalu mencinta.


“Cinta itu rumah, tapi juga bisa jadi kuburan,
tergantung siapa yang masuk lebih dulu dan siapa yang dikubur terakhir.”

Mereka menatapku ngeri. Tapi aku masih menulis puisi, setiap malam.

Dan tiap kali hujan turun, aku mendengar suara Arya dan Anjani... memanggil dari balik langit-langit kamar ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...