Namaku Rendi. Aku pernah jadi orang yang idealis. Dulu, aku percaya kalau kerja keras dan kejujuran adalah jalan terbaik menuju kehidupan yang layak. Tapi dunia tak selalu peduli pada idealismu, apalagi kalau perutmu kosong dan cicilan menjerat leher seperti tali yang siap menarikmu ke lubang gelap kapan saja.
Semuanya bermula saat istriku, Lila, jatuh sakit.
Kami baru saja menyambut anak pertama kami, Aluna. Uang tabungan kami habis untuk persalinan, lalu biaya perawatan pasca melahirkan yang tak tertutup oleh BPJS. Beberapa minggu setelah itu, Lila mulai mengeluh pusing dan mual. Aku mengira itu masih sisa dari kelelahan melahirkan. Tapi ternyata, ada tumor jinak di otaknya. Untuk operasi dan rawat inap, rumah sakit memberi kami estimasi: tiga belas juta rupiah.
Saat itu, aku hanya punya 1,2 juta di rekening.
Aku bekerja sebagai staf lepas di sebuah perusahaan logistik. Tanpa jaminan, tanpa asuransi. Aku mencoba meminjam ke teman-teman, tapi mereka pun sedang terseok-seok oleh pandemi yang belum benar-benar berakhir. Aku ke bank, tapi riwayat kreditku tak ada, dan pendapatanku tak tetap. Ditolak.
Lalu seseorang memberiku “jalan keluar.”
“Pinjam di sini aja, Ren,” ujar Indra, teman satu kos beberapa tahun lalu, sambil menyodorkan tangkapan layar aplikasi ponsel. “Cepat, tanpa jaminan. Gampang kok. Tiga juta langsung cair, sehari.”
Aku ragu. Tapi kemudian kutatap Lila, yang terbaring lemas dengan Aluna di pelukannya, matanya sayu, wajahnya pucat. Aku mengangguk.
Hari itu, aku mengunduh aplikasi pertama. Dalam satu jam, tiga juta masuk ke rekeningku. Aku menangis. Rasanya seperti mukjizat. Aku pikir, kalau aku kerja keras dua bulan ke depan, aku bisa melunasinya.
Tapi satu minggu kemudian, aku mulai menerima telepon dari nomor tak dikenal.
“Pak Rendi, ini dari PT Dana Aja. Anda belum membayar cicilan pertama. Kalau tidak kami tagih, kami akan hubungi semua kontak Anda. Anda mau malu?”
Aku panik. Aku belum gajian. Aku mencoba menjelaskan, tapi suara di ujung sana tak peduli. Hari itu, telepon masuk puluhan kali. Esoknya, lebih parah. Pesan masuk ke WA istri, ibu, bahkan atasanku—semua mengandung kalimat yang sama: “Peringatan! Rendi peminjam uang, tidak bertanggung jawab. Penipu!”
Aku merasa telanjang di tengah kota.
Aku terpaksa meminjam lagi. Tapi aplikasi pertama menolak karena “riwayat buruk”. Jadi aku pinjam dari aplikasi lain. Lalu dari yang lain lagi. Dan begitu seterusnya. Lima, tujuh, sepuluh aplikasi. Dana dari satu untuk bayar cicilan aplikasi lain. Seperti menyiram bensin ke api.
Dalam dua bulan, aku terjerat utang lebih dari 25 juta. Setiap hari telepon berdering, notifikasi masuk. Mereka bukan lagi menagih. Mereka mengancam.
“Kalau tidak bayar, kami sebar foto keluarga kamu.”
“Kami tahu alamat rumah kamu, Rendi.”
“Kamu tidak takut kalau anak kamu hilang?”
Aku gemetar membaca itu. Aku tak bisa tidur. Aku mulai menyembunyikan ponsel. Aku berhenti kerja karena kantorku tak tahan ditelepon oleh debt collector. Istriku mulai curiga, lalu menangis saat tahu semuanya. Tapi ia tak menyalahkanku. Kami hanya duduk di lantai dapur malam itu, menangis bersama.
Suatu malam, aku berpikir untuk mengakhiri semuanya.
Aku berdiri di pinggir jembatan layang, memandang lampu kota seperti bintang jatuh yang dingin dan jauh. “Kalau aku mati, utang ini ikut mati,” pikirku. Tapi kemudian suara kecil memanggil: “Pa...” Aku membayangkan suara Aluna memanggilku untuk pertama kalinya.
Aku pulang malam itu, dengan tangan gemetar.
Keesokan harinya, aku putuskan untuk bertahan. Aku kumpulkan semua tangkapan layar, nomor telepon penagih, dan bukti transfer. Aku pergi ke LBH dan mengadu. Mereka menerima laporanku dan bilang, “Kamu tidak sendiri. Ada ribuan yang begini.”
Aku terkejut. Ternyata aku bukan korban pertama, dan jelas bukan yang terakhir. Banyak pinjol yang ilegal, tak terdaftar di OJK, tak punya alamat kantor jelas, tapi bisa mencairkan uang hanya dengan satu foto KTP.
Beberapa minggu kemudian, aku ikut konferensi pers yang mereka adakan. Wajahku disamarkan, suaraku dimodifikasi. Tapi aku bicara, lantang, sambil menahan air mata. Tentang bagaimana pinjaman kecil berubah jadi lubang neraka. Tentang bagaimana sistem digital bisa menjadi alat penindasan baru.
Berita itu viral. Beberapa aplikasi yang kusebut diblokir. Tapi aku tahu, itu belum cukup.
Sekarang, satu tahun telah lewat. Aku bekerja di koperasi kecil di kampungku. Hidup belum benar-benar baik. Utang belum lunas. Tapi aku mulai bisa tertawa, sedikit demi sedikit.
Aku juga bergabung dalam komunitas edukasi digital, membantu orang-orang memahami bahaya pinjol ilegal. Setiap kali ada yang ingin meminjam cepat karena darurat, aku cerita tentang apa yang kualami.
Karena aku tahu, dalam dunia yang keras ini, keputusasaan sering jadi celah yang dimanfaatkan oleh mereka yang tak punya hati. Tapi jika kita saling menguatkan, mungkin tak ada lagi yang harus berdiri di pinggir jembatan, sendirian, dalam diam.
Komentar
Posting Komentar