Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi

Gambar
Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi_ ilustrsi foto by  Triptrus.com Catatan Kritis Tentang Keindahan yang Terluka Gunung Rinjani bukan sekadar gunung bagi masyarakat Lombok—ia adalah napas, marwah, dan cermin kehidupan. Dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Rinjani berdiri gagah sebagai gunung tertinggi kedua di Indonesia. Ia bukan hanya tujuan pendakian, tetapi juga destinasi rohani, tempat suci bagi umat Hindu, dan bentang alami yang membawa siapapun yang melihatnya pada perenungan yang dalam. Namun, di balik keelokan panorama sabana, danau Segara Anak yang biru kehijauan, serta cahaya mentari yang menyentuh lembut punggung gunung, ada luka-luka yang tak terlihat. Luka karena keserakahan manusia, luka karena keindahan yang terlalu sering dimanfaatkan tanpa tanggung jawab. "Kau bukan sekadar tanah tinggi, Rinjani. Kau adalah puisi yang mengalir di dahi pagi. Namun kini, langitmu mengabur oleh jejak-jejak tamak, dan bisik anginmu tercekik aroma pla...

Puisi Romntis:Dalam Senyap Penantian

 

Puisi Romntis:Dalam Senyap Penantian
ilustrasi Foto Puisi Romntis:Dalam Senyap Penantian 
https://pixabay.com/id/photos/gadis-kesepian-matahari-terbenam-5560212/


Di bawah langit senja yang perlahan redup,
kutemukan lagi warna jingga yang menelusup
di sela-sela daun gugur dan angin yang letih.
Setiap lembarnya seakan menyebut namamu—kamu,
yang entah di mana, entah dengan siapa kini berdiri.

Aku duduk di antara bayang dan harap,
menghitung waktu dengan denyut rindu yang tak henti.
Kupikir waktu akan membuatku lupa,
tapi nyatanya setiap detik justru menoreh lebih dalam.
Cintamu belum datang, namun rinduku tak pernah absen.

Penantian ini bukan sekadar waktu yang berlalu,
tapi jiwa yang bertahan di dalam kesunyian,
menyimpan sejuta harap pada yang mungkin tak pernah datang.
Namun tetap saja kutunggu, seperti laut menanti hujan,
seperti malam merindukan pendar bulan.

Kamu—satu kata yang terus terpatri dalam doaku,
meski langit berganti warna, dan dunia terus berlari.
Dalam setiap langkah, bayangmu menjelma
menjadi luka yang lembut, indah namun mengiris.

Dan saat jingga kembali melukis langit senja,
aku masih di sini,
menyulam harapan di antara rerintik sepi,
memanggil namamu dalam diam yang panjang—
cinta yang tak pernah tiba,
namun tetap kutunggu tanpa lelah.



puisi ini saya dedifikasikan untuk dia yang ada dalam setiap langka,namun tak ada dalam kehidupan nyata.

@faiqnada_


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan