Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi

Gambar
Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi_ ilustrsi foto by  Triptrus.com Catatan Kritis Tentang Keindahan yang Terluka Gunung Rinjani bukan sekadar gunung bagi masyarakat Lombok—ia adalah napas, marwah, dan cermin kehidupan. Dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Rinjani berdiri gagah sebagai gunung tertinggi kedua di Indonesia. Ia bukan hanya tujuan pendakian, tetapi juga destinasi rohani, tempat suci bagi umat Hindu, dan bentang alami yang membawa siapapun yang melihatnya pada perenungan yang dalam. Namun, di balik keelokan panorama sabana, danau Segara Anak yang biru kehijauan, serta cahaya mentari yang menyentuh lembut punggung gunung, ada luka-luka yang tak terlihat. Luka karena keserakahan manusia, luka karena keindahan yang terlalu sering dimanfaatkan tanpa tanggung jawab. "Kau bukan sekadar tanah tinggi, Rinjani. Kau adalah puisi yang mengalir di dahi pagi. Namun kini, langitmu mengabur oleh jejak-jejak tamak, dan bisik anginmu tercekik aroma pla...

Cerita Pendek:Cinta dalam Selimut Malam: Perselingkuhan Tanpa Akhir

Cerita Pendek:Cinta dalam Selimut Malam: Perselingkuhan Tanpa Akhir
bisnisbandung.com


Namaku Siti Puji Astutik. Di kota yang tak pernah benar-benar tidur, aku hidup seperti bayangan—melangkah dalam diam, mencintai dalam sembunyi, dan menangis dalam senyap. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana luka bisa bersembunyi dalam selimut malam yang hangat.

Aku istri dari seorang pria bernama Bayu Rahmatullah. Kami menikah lima tahun lalu, dan dalam lima tahun itu, aku lebih sering bicara pada tembok kamar daripada pada Bayu. Cintanya, yang dulu seperti matahari pagi, kini padam ditelan mendung yang tak mau pergi.

Hingga malam itu datang. Malam ketika aku membuka ponsel Bayu, dan seluruh dunia runtuh di hadapanku.


"Aku ingin jadi pelukan terakhir sebelum tidurmu, meski aku hanya perempuan kedua dalam mimpimu."

 

Pesan itu, dikirim oleh seorang wanita bernama Anita, muncul paling atas. Ada foto—mereka berdua di sebuah hotel. Bayu bersandar santai di sofa, hanya mengenakan handuk. Aku ingin memaki, tapi suaraku tertelan oleh gemuruh di dadaku.

Hatiku tercekat. Jari-jariku gemetar. Tapi aku diam.

Malam itu, aku tak menangis. Aku hanya memandangi langit-langit kamar, membayangkan bagaimana cinta bisa membusuk dalam selimut yang sama. Selimut yang seharusnya menyatukan dua tubuh dalam kehangatan, kini menyembunyikan tubuh ketiga dalam kebohongan.



Keesokan harinya, aku duduk bersamanya di meja makan.

"Aku lihat kamu ke Bandung kemarin," kataku tenang, menatapnya yang sedang mengoleskan selai stroberi di roti.

Bayu tersedak sedikit. "Iya, dinas mendadak."

Aku tersenyum miring. “Apakah tubuhmu mendadak juga mendesah di pelukan sekretarismu?”

Dia membeku. Matanya menghindari tatapanku. Tapi aku hanya menatapnya, senyap. Seperti laut yang tenang sebelum tsunami datang.


"Cintamu bukan luka, tapi kau goreskan pisau tiap malam di punggungku."

 

"Puji, aku bisa jelaskan—"

"Tak perlu," potongku. "Aku tahu sejak tiga bulan lalu. Tapi aku ingin tahu sampai kapan kamu mampu berbohong."



Aku mulai mengikuti mereka. Menguntit dengan jaket hitam dan topi lebar, seperti tokoh utama dalam film yang tak pernah tayang. Aku menunggu mereka di parkiran hotel bintang empat. Saat mereka keluar, berpegangan tangan seperti pasangan muda-mudi, aku ingin melempar batu ke arah mereka. Tapi kutahan.

Malam berikutnya, aku mendatangi Anita.

Aku menyamar jadi klien. Kubooking waktu satu jam konsultasi "bisnis" di kantornya.

"Nama saya Sari," kataku sambil duduk.

Anita tak mengenaliku. Ia hanya mengenal versiku yang hidup dalam luka.

"Bisnis apa yang Anda jalankan?" tanyanya, sopan.

Aku menatapnya lama. "Bisnis mencuri suami orang."

Dia terkejut. Wajahnya mendadak pucat. Aku lepaskan kacamata hitamku.

"Aku istri dari pria yang tidur bersamamu di hotel minggu lalu."

"Kau rebut ciuman yang dulu tumbuh di dahi pernikahanku, kini kau ganti dengan gigitan di tubuh yang bukan hakmu."

Dia berdiri, tampak gelisah. "Aku... aku tak tahu dia masih menikah."

"Bohong. Kau sekretarisnya. Kau tanda tangan surat nikahnya lima tahun lalu."

Dia terdiam. Wajahnya kini bukan lagi wanita cantik, tapi wanita yang ketakutan.

"Aku tak akan laporkan. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa malam-malam kalian tak akan pernah sehangat malamku dulu bersamanya."


Pulang dari sana, aku temui Bayu. Ia sedang duduk di teras, menyesap kopi seperti tak pernah menyakiti siapa pun.

"Aku temui Anita," kataku pelan.

Bayu mengangkat wajahnya, dan ketakutan di matanya adalah musik merdu di telingaku.

"Aku tak akan pisah, Bayu."

Dia bingung. "Maksudmu?"

"Aku akan tetap jadi istrimu. Tapi mulai malam ini, kau tidur di kamar tamu. Kau tetap suamiku, tapi hatiku bukan lagi milikmu."


"Cinta bukan tentang siapa yang memelukmu malam ini, tapi siapa yang bangun esok hari dengan tetap memilihmu."


Dia memohon. Menangis. Tapi tangisan Bayu hanyalah simfoni yang sudah tak layak dinikmati.

Aku tetap hidup bersamanya. Tapi tak pernah lagi menyentuhnya. Ia bangun tiap pagi dengan luka yang ia ciptakan sendiri. Aku, Siti Puji Astutik, menjadi bayangan di rumah sendiri. Tapi aku tetap di sana. Bukan karena cinta, tapi karena aku ingin dia tahu: pengkhianatan tidak butuh pisau—ia hanya butuh selimut dan malam yang gelap.


Lima tahun kemudian, Bayu tua. Anita pergi. Dan aku masih di rumah itu.

Tiap malam, aku menulis diari. Tentang malam-malam yang sepi, tapi penuh kemenangan.


"Aku mencintaimu dulu seperti hujan yang tak tahu arah jatuhnya. Kini aku hanyalah tanah yang menolak basah darimu."


 

Cinta dalam selimut malam bukan hanya kisah pengkhianatan. Ia adalah metafora tentang bagaimana kepercayaan bisa hancur dalam hening. Siti Puji tak memilih pergi. Ia memilih bertahan, bukan karena lemah—tapi karena tahu, keadilan kadang hadir lewat ketegaran yang diam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan