![]() |
Ilustrasi fotoCerita Pendek:Uang Panas di Bawah Gerobak Soto |
Namaku Darto. Di kampung ini, aku dikenal sebagai tukang soto langganan warga. Setiap pagi, aku dorong gerobakku ke pertigaan dekat masjid. Siang sedikit, sotonya habis. Tapi dulu tak selalu begini. Dulu, aku cuma jualan satu-dua mangkok, itu pun sering tak laku.
Sampai malam itu.
Hujan deras membasahi jalanan ketika aku pulang dengan sisa kuah basi dan hati murung. Di tikungan jalan, seorang lelaki tua dengan jubah hitam duduk di bawah lampu jalan. Wajahnya keriput, tapi matanya... tajam seperti binatang malam.
“Darto,” katanya, memanggil namaku. Aku tertegun.
“Bapak siapa?” tanyaku waspada.
“Aku hanya penolong. Kau ingin daganganmu laris, bukan?”
Aku tertawa pahit. “Kalau bisa, saya mau sotonya habis tiap hari. Tapi siapa yang bisa jamin begitu?”
Dia mengeluarkan sebuah botol kaca kecil dari balik jubahnya. Di dalamnya, ada bayangan kecil yang bergerak cepat seperti kabut. “Ambil ini. Buka tutupnya saat tengah malam. Tapi ingat, jangan pernah beri dia nama.”
Aku tak sempat bertanya lebih jauh. Lelaki itu menghilang dibalik hujan seperti kabut tertiup angin.
Malam itu, setelah istriku—Wati—terlelap, aku membuka botol itu di dapur. Udara tiba-tiba menjadi dingin. Lampu berkedip. Dan dari botol itu, keluar sesosok makhluk kecil—botak, kulit pucat, mata merah menyala.
Dia menatapku... lalu tersenyum.
Keesokan paginya, pembeli datang berbondong-bondong. Aku sampai kewalahan melayani. Soto yang biasa tak laku, kini habis dalam dua jam. Uang mengalir. Aku bisa belikan Wati kalung emas. Bisa cicil motor. Bisa renovasi dapur.
Tapi di balik uang itu... ada yang berubah.
Wati mulai gelisah. “Bang,” katanya suatu malam, “aku dengar suara anak kecil ketawa dari dapur, padahal kita nggak punya anak.”
Aku pura-pura tertawa. “Itu mungkin suara TV tetangga.”
Tapi aku tahu. Itu dia. Tuyul yang tak pernah bicara, tapi selalu hadir. Dia sembunyi di kolong gerobak, dekat celengan tempat aku simpan uang. Kadang aku lihat dia menjilati uang dengan lidah panjangnya. Kadang dia cuma duduk, memeluk lutut, dan menatapku.
Semakin banyak uang, semakin gelap rumah kami.
Aku coba tenangkan dia, tapi matanya tak lagi percaya. “Kamu jual jiwamu buat dagangan. Buat uang haram!”
“Aku lakukan ini demi kita, Wat. Demi hidup yang lebih baik.”
“Lebih baik? Kita kaya tapi tiap malam aku mimpi dicekik makhluk kecil. Kita punya uang, tapi rumah ini dingin, Bang. Dingin sekali...”
Aku hancur.
Tapi tuyul itu tetap datang. Tetap duduk di bawah gerobakku. Setiap malam, uang tetap mengalir. Tapi setiap malam pula... aku merasa lebih kesepian.
Dia tak boleh punya nama.
Besoknya, saat aku buka celengan, uangku berdarah. Harum amis memenuhi ruangan. Uang itu menempel di tanganku, seperti daging basah.
Aku dorong gerobakku ke lapangan kosong. Tanpa ragu, aku siram bensin dan bakar semuanya. Gerobak, celengan, bahkan botol kecil yang dulu kubuka.
Dan dari api itu, aku dengar jeritan—suara anak kecil... menjerit seolah kulitnya melepuh.
Sekarang, aku kembali jualan, tapi hanya dengan panci kecil dan meja sederhana. Tak seramai dulu. Tapi hatiku tenang.
Kadang, saat malam tiba, aku duduk sendiri dan berharap Wati kembali.
Tapi aku tahu... ada harga dari uang yang terlalu mudah datang. Dan aku sudah membayarnya dengan kehilangan yang tak bisa dibeli kembali.
Komentar
Posting Komentar