Langsung ke konten utama

Cara dan Trik Move On dari Pacar: Panduan Lengkap untuk Menyembuhkan Hati

  Cara dan Trik Move On dari Pacar: Panduan Lengkap untuk Menyembuhkan Hati Putus cinta memang bukan hal yang mudah. Banyak orang merasa kehilangan arah, sedih berkepanjangan, bahkan merasa dunia runtuh saat hubungan yang dibangun dengan cinta harus berakhir. Namun, kehidupan tetap berjalan, dan salah satu hal terpenting setelah putus cinta adalah move on —yakni proses menyembuhkan diri dan melangkah maju. Dalam artikel ini, kami akan membahas cara dan trik move on dari pacar secara lengkap, realistis, dan mudah diterapkan. 1. Terima Kenyataan bahwa Hubungan Telah Berakhir Langkah pertama dan paling krusial dalam proses move on adalah menerima kenyataan. Banyak orang terjebak dalam harapan palsu atau denial, berharap mantan akan kembali, atau berandai-andai tentang skenario lain. Ini hanya akan memperpanjang luka. Kutipan bijak: "Semakin cepat kamu menerima bahwa dia bukan lagi bagian dari hidupmu, semakin cepat pula kamu bisa membuka hati untuk kebahagiaan yang baru."...

Cerita Pendek:Uang Panas di Bawah Gerobak Soto

 

Cerita Pendek:Uang Panas di Bawah Gerobak Soto
Ilustrasi fotoCerita Pendek:Uang Panas di Bawah Gerobak Soto


Namaku Darto. Di kampung ini, aku dikenal sebagai tukang soto langganan warga. Setiap pagi, aku dorong gerobakku ke pertigaan dekat masjid. Siang sedikit, sotonya habis. Tapi dulu tak selalu begini. Dulu, aku cuma jualan satu-dua mangkok, itu pun sering tak laku.

Sampai malam itu.

Hujan deras membasahi jalanan ketika aku pulang dengan sisa kuah basi dan hati murung. Di tikungan jalan, seorang lelaki tua dengan jubah hitam duduk di bawah lampu jalan. Wajahnya keriput, tapi matanya... tajam seperti binatang malam.

“Darto,” katanya, memanggil namaku. Aku tertegun.

“Bapak siapa?” tanyaku waspada.

“Aku hanya penolong. Kau ingin daganganmu laris, bukan?”

Aku tertawa pahit. “Kalau bisa, saya mau sotonya habis tiap hari. Tapi siapa yang bisa jamin begitu?”

Dia mengeluarkan sebuah botol kaca kecil dari balik jubahnya. Di dalamnya, ada bayangan kecil yang bergerak cepat seperti kabut. “Ambil ini. Buka tutupnya saat tengah malam. Tapi ingat, jangan pernah beri dia nama.”

Aku tak sempat bertanya lebih jauh. Lelaki itu menghilang dibalik hujan seperti kabut tertiup angin.

Malam itu, setelah istriku—Wati—terlelap, aku membuka botol itu di dapur. Udara tiba-tiba menjadi dingin. Lampu berkedip. Dan dari botol itu, keluar sesosok makhluk kecil—botak, kulit pucat, mata merah menyala.

Dia menatapku... lalu tersenyum.

Keesokan paginya, pembeli datang berbondong-bondong. Aku sampai kewalahan melayani. Soto yang biasa tak laku, kini habis dalam dua jam. Uang mengalir. Aku bisa belikan Wati kalung emas. Bisa cicil motor. Bisa renovasi dapur.

Tapi di balik uang itu... ada yang berubah.

Wati mulai gelisah. “Bang,” katanya suatu malam, “aku dengar suara anak kecil ketawa dari dapur, padahal kita nggak punya anak.”

Aku pura-pura tertawa. “Itu mungkin suara TV tetangga.”

Tapi aku tahu. Itu dia. Tuyul yang tak pernah bicara, tapi selalu hadir. Dia sembunyi di kolong gerobak, dekat celengan tempat aku simpan uang. Kadang aku lihat dia menjilati uang dengan lidah panjangnya. Kadang dia cuma duduk, memeluk lutut, dan menatapku.

Semakin banyak uang, semakin gelap rumah kami.

Suatu malam, Wati menjerit. “Bang! Bang! Aku lihat dia! Anak itu! Dia di dapur!”
Aku bangun kaget, menemukan Wati memeluk dirinya sendiri, menangis. “Kamu bohong! Kamu simpan setan di rumah ini!”

Aku coba tenangkan dia, tapi matanya tak lagi percaya. “Kamu jual jiwamu buat dagangan. Buat uang haram!”

“Aku lakukan ini demi kita, Wat. Demi hidup yang lebih baik.”

“Lebih baik? Kita kaya tapi tiap malam aku mimpi dicekik makhluk kecil. Kita punya uang, tapi rumah ini dingin, Bang. Dingin sekali...”

Keesokan harinya, Wati pergi. Tak ada pesan. Tak ada jejak. Hanya sehelai kertas di meja:
“Aku pergi sebelum semuanya terlambat. Jangan cari aku.”

Aku hancur.

Tapi tuyul itu tetap datang. Tetap duduk di bawah gerobakku. Setiap malam, uang tetap mengalir. Tapi setiap malam pula... aku merasa lebih kesepian.

Sampai suatu malam, aku bangun dengan suara bisikan. “Namaku Ncip...”
Aku membeku. Itu suara anak kecil, tepat di samping telingaku.

Dia tak boleh punya nama.

Besoknya, saat aku buka celengan, uangku berdarah. Harum amis memenuhi ruangan. Uang itu menempel di tanganku, seperti daging basah.

Aku dorong gerobakku ke lapangan kosong. Tanpa ragu, aku siram bensin dan bakar semuanya. Gerobak, celengan, bahkan botol kecil yang dulu kubuka.

Dan dari api itu, aku dengar jeritan—suara anak kecil... menjerit seolah kulitnya melepuh.

Sekarang, aku kembali jualan, tapi hanya dengan panci kecil dan meja sederhana. Tak seramai dulu. Tapi hatiku tenang.

Kadang, saat malam tiba, aku duduk sendiri dan berharap Wati kembali.

Tapi aku tahu... ada harga dari uang yang terlalu mudah datang. Dan aku sudah membayarnya dengan kehilangan yang tak bisa dibeli kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...