Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Cerita Pendek:Kupeluk Dia Saat Hujan, Tapi Namanya Bukan Aku yang Tertulis di Undangannya


Cerita Pendek:Kupeluk Dia Saat Hujan, Tapi Namanya Bukan Aku yang Tertulis di Undangannya_Ilustrasi foto by
https://snapy.co.id/artikel/tampilkan-kesan-mewah-inilah-kelebihan-dan-kekurangan-undangan-akrilik



Hujan turun lebat saat dia datang menghampiri. Langkahnya masih sama seperti dulu—pelan, tenang, tapi menyentuh bagian terdalam dari dadaku. Dia berdiri di depanku dengan jas hujan transparan yang basah, rambutnya lepek, dan matanya berkaca-kaca. Di tangannya, sebuah undangan berwarna gading dengan pita emas kecil di tengah.

“Raka…” katanya lirih, menyerahkan amplop itu.

Aku menatapnya, lalu menatap undangan itu. Tanganku gemetar. Rasanya seperti diberi sebilah pisau untuk mengiris hatiku sendiri.

“Jadi ini akhirnya?” tanyaku, suara serak.

Dia hanya mengangguk. Matanya menunduk. Tapi aku tahu, dia bisa mendengar degup jantungku yang mulai berantakan.

Aku pernah mencintainya dalam diam selama tiga tahun. Tapi kemudian aku beranikan diri mendekat, menjadi teman yang selalu ada di sisi kanannya. Menjadi pelindung saat dia patah hati. Menjadi pendengar saat dia bercerita tentang pria lain—termasuk Dimas, lelaki yang kini namanya tertulis di undangan itu.

Dan kini, aku berdiri dalam hujan, tubuhku kuyup, dan dia menyerahkan undangan itu seolah hatiku tak pernah ia huni.

“Kenapa kamu datang sendiri?” tanyaku lirih, mencoba menahan amarah dan tangis yang berusaha pecah.

“Aku cuma… ingin kamu tahu langsung dariku. Aku nggak mau kamu tahu dari orang lain. Kamu pantas tahu lebih dulu…”

Aku tersenyum getir. “Tapi aku juga pantas bahagia, Ka. Pantas dicintai… setidaknya satu persen dari caraku mencintai kamu.”

Dia menutup mata, dan setetes air mata mengalir bersamaan dengan air hujan. “Aku tahu… Tapi hatiku... bukan untuk kamu, Rak.”

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu tanpa sadar mendekat dan memeluknya. Dia kaget, tubuhnya menegang sejenak. Tapi tak lama, dia membalas pelukanku. Mungkin karena rasa bersalah. Atau mungkin karena kenangan. Tapi bukan karena cinta.

“Terima kasih, ya…” bisiknya di bahuku.

“Untuk apa?” tanyaku lemah.

“Untuk segalanya. Untuk jadi rumah, bahkan saat aku cuma numpang.”

Kata-katanya menghujam. Aku ingin marah, tapi aku juga tahu, tidak ada yang bisa memaksa hati. Dan aku kalah—bukan karena aku kurang berjuang, tapi karena sejak awal, aku tidak pernah benar-benar dilihat sebagai tempat pulang.

Kami diam. Hujan jadi latar. Jalanan sepi. Dunia seperti ikut menunduk bersama kami.

Lalu, dia melepas pelukan itu. Tangannya gemetar saat menarik kembali undangan dari genggamanku. Tapi aku menahannya.

“Boleh aku datang?” tanyaku.

Dia terdiam. Lalu mengangguk, walau dengan wajah ragu.

Aku tahu, dia tak ingin aku datang. Tapi dia terlalu baik untuk berkata tidak.


Hari itu datang. Hari pernikahannya.

Langit mendung, seolah ikut ragu merestui. Aku berdiri di luar gedung, ragu untuk masuk. Bajuku rapi, tapi hati ini berantakan.

Dari balik jendela kaca, aku melihatnya berdiri di pelaminan. Gaun putihnya sederhana, tapi dia terlihat seperti bidadari. Di sampingnya, Dimas—dengan senyum sempurna, berdiri penuh percaya diri.

Aku menunduk. Napasku tercekat. Setiap detik yang kulewati di luar sana adalah pertempuran antara logika dan perasaan.

“Raka?” suara itu mengejutkanku.

Aku menoleh. Ibunya, Ibu Lestari, berdiri di belakangku. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil.

“Kenapa di luar? Masuklah, Nak.”

Aku menggeleng. “Saya cukup melihat dari sini, Bu.”

Dia menatapku dengan pandangan dalam. “Saya tahu semuanya. Tentang perasaanmu. Tentang pengorbananmu. Dia pun tahu.”

Aku terdiam.

“Kadang, cinta bukan soal siapa yang paling baik atau paling tulus. Tapi tentang siapa yang lebih dulu menyentuh hatinya.”

Aku menunduk. Kata-katanya seperti konfirmasi dari luka yang selama ini kutolak.

“Saya bangga kamu tetap datang. Bahkan saat kamu tahu kamu bukan yang dipilih.” Ibu Lestari menepuk pundakku, lalu masuk ke dalam.

Dan aku… aku masih di sana. Diam. Sampai terdengar musik pengiring prosesi pengantin.

Aku tahu aku harus pergi. Tapi kakiku menolak.

Lalu hujan turun. Lagi.

Seolah semuanya ingin mengulang malam itu—malam terakhir aku memeluknya. Tapi kali ini, tidak akan ada pelukan. Tidak ada kata perpisahan. Tidak ada undangan.

Karena dia sudah memilih jalan yang tak lagi menyisakan ruang untukku.

Aku melangkah pergi, meninggalkan gedung itu, meninggalkan semua kenangan yang tak akan pernah menjadi kenyataan.


Beberapa bulan kemudian.

Aku mulai berdamai. Perlahan.

Tapi suatu malam, ponselku bergetar. Pesan singkat masuk.

“Kalau suatu hari aku salah memilih, kamu masih akan jadi tempat pulangku?”

Aku membacanya berulang kali. Lalu kuhapus.

Karena aku tahu, aku tak bisa jadi rumah yang hanya didatangi saat badai. Aku ingin menjadi tujuan, bukan pelarian.

Dan kali ini... aku memilih untuk benar-benar pergi. Meski berat, meski hancur. Tapi inilah satu-satunya cara untuk benar-benar bebas dari pelukan yang tak pernah milikku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...