Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi

Gambar
Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi_ ilustrsi foto by  Triptrus.com Catatan Kritis Tentang Keindahan yang Terluka Gunung Rinjani bukan sekadar gunung bagi masyarakat Lombok—ia adalah napas, marwah, dan cermin kehidupan. Dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Rinjani berdiri gagah sebagai gunung tertinggi kedua di Indonesia. Ia bukan hanya tujuan pendakian, tetapi juga destinasi rohani, tempat suci bagi umat Hindu, dan bentang alami yang membawa siapapun yang melihatnya pada perenungan yang dalam. Namun, di balik keelokan panorama sabana, danau Segara Anak yang biru kehijauan, serta cahaya mentari yang menyentuh lembut punggung gunung, ada luka-luka yang tak terlihat. Luka karena keserakahan manusia, luka karena keindahan yang terlalu sering dimanfaatkan tanpa tanggung jawab. "Kau bukan sekadar tanah tinggi, Rinjani. Kau adalah puisi yang mengalir di dahi pagi. Namun kini, langitmu mengabur oleh jejak-jejak tamak, dan bisik anginmu tercekik aroma pla...

Cerita Pendek:Kupeluk Dia Saat Hujan, Tapi Namanya Bukan Aku yang Tertulis di Undangannya


Cerita Pendek:Kupeluk Dia Saat Hujan, Tapi Namanya Bukan Aku yang Tertulis di Undangannya_Ilustrasi foto by
https://snapy.co.id/artikel/tampilkan-kesan-mewah-inilah-kelebihan-dan-kekurangan-undangan-akrilik



Hujan turun lebat saat dia datang menghampiri. Langkahnya masih sama seperti dulu—pelan, tenang, tapi menyentuh bagian terdalam dari dadaku. Dia berdiri di depanku dengan jas hujan transparan yang basah, rambutnya lepek, dan matanya berkaca-kaca. Di tangannya, sebuah undangan berwarna gading dengan pita emas kecil di tengah.

“Raka…” katanya lirih, menyerahkan amplop itu.

Aku menatapnya, lalu menatap undangan itu. Tanganku gemetar. Rasanya seperti diberi sebilah pisau untuk mengiris hatiku sendiri.

“Jadi ini akhirnya?” tanyaku, suara serak.

Dia hanya mengangguk. Matanya menunduk. Tapi aku tahu, dia bisa mendengar degup jantungku yang mulai berantakan.

Aku pernah mencintainya dalam diam selama tiga tahun. Tapi kemudian aku beranikan diri mendekat, menjadi teman yang selalu ada di sisi kanannya. Menjadi pelindung saat dia patah hati. Menjadi pendengar saat dia bercerita tentang pria lain—termasuk Dimas, lelaki yang kini namanya tertulis di undangan itu.

Dan kini, aku berdiri dalam hujan, tubuhku kuyup, dan dia menyerahkan undangan itu seolah hatiku tak pernah ia huni.

“Kenapa kamu datang sendiri?” tanyaku lirih, mencoba menahan amarah dan tangis yang berusaha pecah.

“Aku cuma… ingin kamu tahu langsung dariku. Aku nggak mau kamu tahu dari orang lain. Kamu pantas tahu lebih dulu…”

Aku tersenyum getir. “Tapi aku juga pantas bahagia, Ka. Pantas dicintai… setidaknya satu persen dari caraku mencintai kamu.”

Dia menutup mata, dan setetes air mata mengalir bersamaan dengan air hujan. “Aku tahu… Tapi hatiku... bukan untuk kamu, Rak.”

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu tanpa sadar mendekat dan memeluknya. Dia kaget, tubuhnya menegang sejenak. Tapi tak lama, dia membalas pelukanku. Mungkin karena rasa bersalah. Atau mungkin karena kenangan. Tapi bukan karena cinta.

“Terima kasih, ya…” bisiknya di bahuku.

“Untuk apa?” tanyaku lemah.

“Untuk segalanya. Untuk jadi rumah, bahkan saat aku cuma numpang.”

Kata-katanya menghujam. Aku ingin marah, tapi aku juga tahu, tidak ada yang bisa memaksa hati. Dan aku kalah—bukan karena aku kurang berjuang, tapi karena sejak awal, aku tidak pernah benar-benar dilihat sebagai tempat pulang.

Kami diam. Hujan jadi latar. Jalanan sepi. Dunia seperti ikut menunduk bersama kami.

Lalu, dia melepas pelukan itu. Tangannya gemetar saat menarik kembali undangan dari genggamanku. Tapi aku menahannya.

“Boleh aku datang?” tanyaku.

Dia terdiam. Lalu mengangguk, walau dengan wajah ragu.

Aku tahu, dia tak ingin aku datang. Tapi dia terlalu baik untuk berkata tidak.


Hari itu datang. Hari pernikahannya.

Langit mendung, seolah ikut ragu merestui. Aku berdiri di luar gedung, ragu untuk masuk. Bajuku rapi, tapi hati ini berantakan.

Dari balik jendela kaca, aku melihatnya berdiri di pelaminan. Gaun putihnya sederhana, tapi dia terlihat seperti bidadari. Di sampingnya, Dimas—dengan senyum sempurna, berdiri penuh percaya diri.

Aku menunduk. Napasku tercekat. Setiap detik yang kulewati di luar sana adalah pertempuran antara logika dan perasaan.

“Raka?” suara itu mengejutkanku.

Aku menoleh. Ibunya, Ibu Lestari, berdiri di belakangku. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil.

“Kenapa di luar? Masuklah, Nak.”

Aku menggeleng. “Saya cukup melihat dari sini, Bu.”

Dia menatapku dengan pandangan dalam. “Saya tahu semuanya. Tentang perasaanmu. Tentang pengorbananmu. Dia pun tahu.”

Aku terdiam.

“Kadang, cinta bukan soal siapa yang paling baik atau paling tulus. Tapi tentang siapa yang lebih dulu menyentuh hatinya.”

Aku menunduk. Kata-katanya seperti konfirmasi dari luka yang selama ini kutolak.

“Saya bangga kamu tetap datang. Bahkan saat kamu tahu kamu bukan yang dipilih.” Ibu Lestari menepuk pundakku, lalu masuk ke dalam.

Dan aku… aku masih di sana. Diam. Sampai terdengar musik pengiring prosesi pengantin.

Aku tahu aku harus pergi. Tapi kakiku menolak.

Lalu hujan turun. Lagi.

Seolah semuanya ingin mengulang malam itu—malam terakhir aku memeluknya. Tapi kali ini, tidak akan ada pelukan. Tidak ada kata perpisahan. Tidak ada undangan.

Karena dia sudah memilih jalan yang tak lagi menyisakan ruang untukku.

Aku melangkah pergi, meninggalkan gedung itu, meninggalkan semua kenangan yang tak akan pernah menjadi kenyataan.


Beberapa bulan kemudian.

Aku mulai berdamai. Perlahan.

Tapi suatu malam, ponselku bergetar. Pesan singkat masuk.

“Kalau suatu hari aku salah memilih, kamu masih akan jadi tempat pulangku?”

Aku membacanya berulang kali. Lalu kuhapus.

Karena aku tahu, aku tak bisa jadi rumah yang hanya didatangi saat badai. Aku ingin menjadi tujuan, bukan pelarian.

Dan kali ini... aku memilih untuk benar-benar pergi. Meski berat, meski hancur. Tapi inilah satu-satunya cara untuk benar-benar bebas dari pelukan yang tak pernah milikku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan