Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi

![]() |
Malam Minggu di Malioboro: Di Antara Denyut Lampu, Angkringan, dan Aroma Kerinduan foto by_tourjogja.com |
Di sebuah malam minggu yang lembut, saat langit Yogyakarta menggantungkan bulan separuh luka di atas kepala, langkah kaki saya menjejak lantai kota dengan napas pelan—seperti baru saja selesai berdoa. Bukan menuju masjid, bukan pula ke keramaian pesta. Saya melangkah ke satu tempat yang selalu menyimpan nostalgia: Malioboro. Jantung kota yang tak pernah benar-benar tidur, bahkan saat waktu menua dan lampu-lampu kota kehilangan nyalanya sendiri.
Malam itu, Malioboro bukan sekadar nama jalan. Ia menjelma tubuh raksasa: nadi berdenyut di setiap langkah kaki wisatawan, nafas terasa dari gerobak angkringan yang mengepul di sudut trotoar, dan suara—ah, suara!—bercampur antara rintik gamelan dari radio tua dan suara pedagang asongan yang menawarkan gantungan kunci berbentuk andong.
Langkah saya berhenti di depan Gedung Agung. Di sana, sekelompok anak muda berseragam SMA duduk bersila, entah berdiskusi tentang cinta pertama atau tugas matematika yang menumpuk. Di balik tawa-tawa itu, saya menangkap satu wajah tak dikenal, entah siapa, entah kenapa, tapi tampak begitu tenang. Mungkin ia, seperti saya, juga sedang mencari sesuatu yang tak bisa disebutkan namanya.
Jika Jakarta punya Sudirman dan Bandung punya Braga, maka Yogyakarta punya Malioboro—tempat segala cerita bersatu: dari cinta pertama, patah hati, pertunjukan jalanan, hingga seorang ayah tua yang menjajakan kaus “I ❤️ Jogja” dengan suara yang serak karena usia. Namun tetap sabar, seolah Tuhan menitipkan harapan padanya tiap malam.
Di kiri-kanan jalan, kios-kios berderet bak puisi yang dibacakan dengan saksama. Ada batik dengan motif Parang Rusak dan Sidomukti, ada blangkon tergantung di tiang, dan sandal-sandal kulit yang harum karena baru dijahit sore tadi. Setiap penjual menawarkan bukan hanya barang, tetapi cerita: “Mau batik Mbak? Ini motifnya dari nenek saya dulu.”
Ah, bagaimana mungkin bisa menolak barang yang membawa sejarah?
Di tengah-tengah jalan, panggung-panggung kecil berdiri. Ada yang memainkan keroncong, ada yang menyanyikan lagu Koes Plus, ada juga yang berakrobat di atas sepeda roda satu. Anak-anak kecil berlarian mengejar balon sabun yang mengambang, sementara ibu-ibu duduk di kursi batu, sesekali membuka tas dan menyelipkan minyak angin ke leher suaminya.
Dan saya, seorang pengelana malam yang tanpa rencana, justru larut dalam semuanya. Apa yang saya cari di Malioboro malam ini? Entahlah. Tapi saya yakin, jawabannya akan ditemukan bukan di ujung jalan, tapi di hati yang bersedia mendengarkan cerita-cerita kecil di sepanjang trotoarnya.
Saat waktu mendekati pukul sembilan, saya duduk di sebuah angkringan. Tikar digelar, lampu temaram dari bohlam gantung, dan suara mendesis dari wedang jahe yang sedang dipanaskan. Di samping saya, seorang bapak tua—berpeci hitam dan tangan sedikit gemetar—membakar sate usus sambil menyanyikan lagu “Yen Ing Tawang Ono Lintang.”
“Mas, dari mana?” tanyanya tanpa menoleh.
“Dari luar kota, Pak. Lagi jalan-jalan malam minggu.”
Ia tertawa kecil, “Malioboro memang tempatnya yang datang untuk hilang.”
Saya tidak menjawab. Kalimat itu terlalu dalam untuk dibalas dengan jawaban biasa.
Wedang jahe saya habis, sate usus pun tak bersisa. Tapi kehangatan malam itu tak kunjung padam. Di atas kepala, langit menggantung bintang secukupnya—tak mewah, tapi cukup untuk membuat siapa pun diam dan memikirkan banyak hal.
Malioboro seolah memiliki ujung, tapi sebenarnya tidak pernah selesai. Saya melanjutkan langkah ke arah Pasar Beringharjo yang mulai redup. Di sana, bangku-bangku kayu kosong menatap saya seolah menyuruh duduk. Dan saya menuruti. Di bangku itu, udara terasa lebih berat. Bukan karena polusi, tapi karena kenangan yang menyerbu tiba-tiba.
Dulu, di tempat itu, saya pernah duduk bersama seseorang. Dia yang matanya seperti senja, dan tawanya seperti gamelan yang mengalun dari kejauhan. Kami bicara tentang masa depan, tentang kemungkinan membuka toko batik sendiri, tentang tinggal di Jogja selamanya.
Tapi malam berubah cepat, dan orang-orang sering tak setia pada rencana. Kini saya duduk sendiri, ditemani angin dan suara delman yang tersisa satu-dua.
Namun entah kenapa, saya tidak merasa kehilangan. Karena Malioboro mengajarkan satu hal: setiap kehilangan adalah bagian dari perjalanan.
Malam makin larut. Pedagang mulai menggulung tikar, lampu-lampu mulai dimatikan, dan para pengamen terakhir menyanyikan lagu penutup yang seolah menjadi doa. Saya berjalan kembali ke tempat penginapan, melewati Tugu Jogja yang berdiri kokoh dalam cahaya bulan.
Pikiran saya penuh, bukan karena kebingungan, tapi karena kenyang oleh suasana. Ada rasa yang sulit dijelaskan dengan logika: perpaduan nostalgia, rindu, dan kehangatan kota yang sederhana namun menyentuh.
Malam minggu di Malioboro bukan sekadar malam minggu. Ia adalah perjalanan batin. Di sana, kita bukan hanya berjalan di atas aspal, tapi juga menyusuri masa lalu, menyapa orang asing yang terasa seperti sahabat lama, dan menemukan bagian dari diri kita yang sempat hilang.
Dan ketika kaki lelah, kita tahu: tak ada tempat seindah Malioboro untuk sekadar duduk, diam, dan mencintai kota ini tanpa syarat.
Komentar
Posting Komentar