Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Cerita Pendek:Cinta Diam Siti Puji Astutik: Gadis Senja yang Menyulam Rindu


Cinta Diam Siti Puji Astutik: Gadis Senja yang Menyulam Rindu
Cerita Pendek:Cinta Diam Siti Puji Astutik: Gadis Senja yang Menyulam Rindu


Senja selalu menjadi waktu yang ia tunggu. Siti Puji Astutik, gadis desa yang lebih akrab dipanggil Puji, selalu duduk di bangku kayu tua di tepi sawah. Dari sanalah ia menatap matahari perlahan tenggelam, bersama rindu yang tak pernah sempat ia ucapkan. Rindu yang diam-diam tumbuh, seperti padi yang ia tanam bersama ibunya—sunyi, tapi nyata.

Namanya Fajar, pria yang bekerja sebagai guru honorer di sekolah tempat adik Puji belajar. Sejak pertama melihatnya mengajar dengan sabar, Puji tahu hatinya jatuh, tapi tak pernah berani mendekat. Ia hanya bisa mencintai dalam diam, dan membungkus rindunya dalam puisi-puisi yang ia tulis di balik kertas bekas belanja.

 

“Jika cinta adalah rahasia, 

Biarlah kusimpan dalam doa,

Dalam sepi aku menjaga,
Namamu selalu di dada.”

 

Hari itu, langit senja lebih redup dari biasanya. Puji menatap semburat jingga yang hampir mati. Tapi matanya justru menangkap sosok Fajar berjalan melewati pematang, mengantar adik muridnya yang sakit. Tak disangka, Fajar berhenti di dekatnya.

“Puji, kamu sering duduk di sini, ya?”

Puji tersentak. “Iya, Mas. Saya suka lihat langit berubah warna.”

Fajar tersenyum, menatap matahari yang merunduk. “Langit memang indah... Tapi kadang yang diam justru paling indah untuk dimengerti.”



Puji tertunduk. Tangannya menggenggam lipatan puisi yang belum ia berani serahkan.

“Jika kau tahu,
Hanya pada senja aku bicara padamu,
Dalam diam kuucap namamu,
Walau hatimu belum tentu untukku.”

 

Malam itu, Puji menulis puisi dengan air mata. Ia tahu Fajar mungkin hanya menganggapnya gadis desa biasa. Tapi cinta tak pernah melihat kasta atau tempat. Cinta hanya butuh keberanian. Dan itulah yang belum ia punya.


Pekan berganti, sebuah kabar tersebar di desa: Fajar akan dilamar anak kepala desa, Ratna. Puji menggigil di bawah hujan saat mendengar kabar itu. Dunia seakan gelap meski petir menyala.

Ia tak menangis di depan siapa pun. Tapi setiap malam, ia berbicara dengan bayangan.

“Jika aku hanya bayang-bayang,
Mengapa rinduku nyata?
Jika aku bukan takdirmu,
Mengapa Tuhan hadirkanmu dalam mimpi-mimpiku?”

Puji memutuskan malam itu juga. Ia akan mengutarakan isi hatinya. Sekalipun ditolak, ia tak ingin selamanya membungkam cinta.


Senja berikutnya, Puji menunggu di bangku kayu, membawa secarik puisi terakhir. Hujan rintik turun, seolah langit pun tahu hari ini istimewa.

Fajar datang, mengenakan jaket dan membawa buku-buku sekolah. Ia tersenyum melihat Puji.

“Kamu menunggu hujan?”

Puji menatap matanya, pertama kali seberani ini.

“Aku menunggu kamu, Mas.”

Fajar terdiam. “Ada apa, Puji?”

Dengan suara bergetar, Puji menyerahkan puisi.

“Aku tahu ini mungkin tidak penting... Tapi aku ingin kamu tahu, aku pernah mencintaimu, bahkan sampai detik ini.”

Fajar membuka lipatan puisi:

“Aku adalah senja yang kamu lihat,
Redup tapi jujur,
Aku tak pernah meminta disapa,
Hanya ingin kau tahu,
Aku pernah mencintaimu dalam diam.”

Suasana hening. Hanya suara hujan dan detak jantung Puji.

Fajar menatapnya. “Puji... Kenapa tidak dari dulu kau bilang?”

“Aku takut. Takut merusak semua.”

Fajar menghela napas. “Aku juga suka kamu... Tapi aku kira kamu tak pernah peduli.”

“Lalu Ratna?”

“Dia yang meminta orang tuanya datang. Aku belum bilang iya. Aku masih mencari keberanian untuk menolak.”

Puji menangis pelan. “Jadi... cinta ini tidak sepihak?”

Fajar memegang tangannya.

“Kalau saja puisi ini datang lebih awal, mungkin aku sudah ke rumahmu, bukan rumah kepala desa.”

“Cinta yang paling jujur adalah yang tak pernah meminta balasan,
Tapi jika balasan itu datang,
Maka dunia pun bersyukur atas keberanian.”


Namun tak semudah itu. Kabar kedekatan Fajar dan Puji sampai ke telinga keluarga kepala desa. Malam itu juga, ayah Puji dipanggil ke balai desa dan dihujani tuduhan: anak gadisnya menggoda tunangan orang.

“Kami keluarga sederhana, Pak,” kata ayah Puji dengan gemetar. “Tapi kami tidak mengemis cinta siapa pun.”

Puji menangis di belakang pintu, mendengar nama dan harga dirinya dicaci.

“Jika mencintai adalah luka,
Biarlah aku berdarah demi setia,
Aku tak menyesal mencintaimu,
Meski dunia menertawakanku.”

Fajar mendengar kabar itu, dan keesokan paginya ia berdiri di hadapan warga, di tengah pasar desa.

“Saya minta maaf. Saya yang mencintai Puji lebih dulu. Jangan salahkan dia.”

Warga heboh. Tapi keberanian Fajar menyentak semua yang hadir.

Termasuk Ratna.

Ratna mendekat, menatap Fajar tajam.

“Jadi kamu lebih memilih gadis sawah itu?”

Fajar mengangguk. “Karena dia mencintaiku bukan dengan uang, tapi dengan puisi.”

“Ada cinta yang dibungkus emas,
Tapi aku lebih memilih cinta yang dibungkus keberanian dan doa.”


Waktu berlalu. Puji tetap duduk di bangku tua di tepi sawah. Tapi kali ini tak sendiri.

Fajar di sampingnya, memegang tangan Puji yang dingin tapi pasti. Mereka tak perlu menyembunyikan apa pun lagi.

“Kini senja bukan lagi tentang kehilangan,
Tapi tentang pulang,
Bukan lagi tentang diam,
Tapi tentang keberanian mengucapkan cinta.”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...