Cerita Pendek:Cinta Diam Siti Puji Astutik: Gadis Senja yang Menyulam Rindu |
Senja selalu menjadi waktu yang ia tunggu. Siti Puji Astutik, gadis desa yang lebih akrab dipanggil Puji, selalu duduk di bangku kayu tua di tepi sawah. Dari sanalah ia menatap matahari perlahan tenggelam, bersama rindu yang tak pernah sempat ia ucapkan. Rindu yang diam-diam tumbuh, seperti padi yang ia tanam bersama ibunya—sunyi, tapi nyata.
Namanya Fajar, pria yang bekerja sebagai guru honorer di sekolah tempat adik Puji belajar. Sejak pertama melihatnya mengajar dengan sabar, Puji tahu hatinya jatuh, tapi tak pernah berani mendekat. Ia hanya bisa mencintai dalam diam, dan membungkus rindunya dalam puisi-puisi yang ia tulis di balik kertas bekas belanja.
“Jika cinta adalah rahasia,
Biarlah kusimpan dalam doa,
Dalam sepi aku menjaga,Namamu selalu di dada.”
Hari itu, langit senja lebih redup dari biasanya. Puji menatap semburat jingga yang hampir mati. Tapi matanya justru menangkap sosok Fajar berjalan melewati pematang, mengantar adik muridnya yang sakit. Tak disangka, Fajar berhenti di dekatnya.
“Puji, kamu sering duduk di sini, ya?”
Puji tersentak. “Iya, Mas. Saya suka lihat langit berubah warna.”
Fajar tersenyum, menatap matahari yang merunduk. “Langit memang indah... Tapi kadang yang diam justru paling indah untuk dimengerti.”
Puji tertunduk. Tangannya menggenggam lipatan puisi yang belum ia berani serahkan.
“Jika kau tahu,Hanya pada senja aku bicara padamu,Dalam diam kuucap namamu,Walau hatimu belum tentu untukku.”
Malam itu, Puji menulis puisi dengan air mata. Ia tahu Fajar mungkin hanya menganggapnya gadis desa biasa. Tapi cinta tak pernah melihat kasta atau tempat. Cinta hanya butuh keberanian. Dan itulah yang belum ia punya.
Pekan berganti, sebuah kabar tersebar di desa: Fajar akan dilamar anak kepala desa, Ratna. Puji menggigil di bawah hujan saat mendengar kabar itu. Dunia seakan gelap meski petir menyala.
Ia tak menangis di depan siapa pun. Tapi setiap malam, ia berbicara dengan bayangan.
“Jika aku hanya bayang-bayang,Mengapa rinduku nyata?Jika aku bukan takdirmu,Mengapa Tuhan hadirkanmu dalam mimpi-mimpiku?”
Puji memutuskan malam itu juga. Ia akan mengutarakan isi hatinya. Sekalipun ditolak, ia tak ingin selamanya membungkam cinta.
Senja berikutnya, Puji menunggu di bangku kayu, membawa secarik puisi terakhir. Hujan rintik turun, seolah langit pun tahu hari ini istimewa.
Fajar datang, mengenakan jaket dan membawa buku-buku sekolah. Ia tersenyum melihat Puji.
“Kamu menunggu hujan?”
Puji menatap matanya, pertama kali seberani ini.
“Aku menunggu kamu, Mas.”
Fajar terdiam. “Ada apa, Puji?”
Dengan suara bergetar, Puji menyerahkan puisi.
“Aku tahu ini mungkin tidak penting... Tapi aku ingin kamu tahu, aku pernah mencintaimu, bahkan sampai detik ini.”
Fajar membuka lipatan puisi:
“Aku adalah senja yang kamu lihat,Redup tapi jujur,Aku tak pernah meminta disapa,Hanya ingin kau tahu,Aku pernah mencintaimu dalam diam.”
Suasana hening. Hanya suara hujan dan detak jantung Puji.
Fajar menatapnya. “Puji... Kenapa tidak dari dulu kau bilang?”
“Aku takut. Takut merusak semua.”
Fajar menghela napas. “Aku juga suka kamu... Tapi aku kira kamu tak pernah peduli.”
“Lalu Ratna?”
“Dia yang meminta orang tuanya datang. Aku belum bilang iya. Aku masih mencari keberanian untuk menolak.”
Puji menangis pelan. “Jadi... cinta ini tidak sepihak?”
Fajar memegang tangannya.
“Kalau saja puisi ini datang lebih awal, mungkin aku sudah ke rumahmu, bukan rumah kepala desa.”
“Cinta yang paling jujur adalah yang tak pernah meminta balasan,Tapi jika balasan itu datang,Maka dunia pun bersyukur atas keberanian.”
Namun tak semudah itu. Kabar kedekatan Fajar dan Puji sampai ke telinga keluarga kepala desa. Malam itu juga, ayah Puji dipanggil ke balai desa dan dihujani tuduhan: anak gadisnya menggoda tunangan orang.
“Kami keluarga sederhana, Pak,” kata ayah Puji dengan gemetar. “Tapi kami tidak mengemis cinta siapa pun.”
Puji menangis di belakang pintu, mendengar nama dan harga dirinya dicaci.
“Jika mencintai adalah luka,Biarlah aku berdarah demi setia,Aku tak menyesal mencintaimu,Meski dunia menertawakanku.”
Fajar mendengar kabar itu, dan keesokan paginya ia berdiri di hadapan warga, di tengah pasar desa.
“Saya minta maaf. Saya yang mencintai Puji lebih dulu. Jangan salahkan dia.”
Warga heboh. Tapi keberanian Fajar menyentak semua yang hadir.
Termasuk Ratna.
Ratna mendekat, menatap Fajar tajam.
“Jadi kamu lebih memilih gadis sawah itu?”
Fajar mengangguk. “Karena dia mencintaiku bukan dengan uang, tapi dengan puisi.”
“Ada cinta yang dibungkus emas,Tapi aku lebih memilih cinta yang dibungkus keberanian dan doa.”
Waktu berlalu. Puji tetap duduk di bangku tua di tepi sawah. Tapi kali ini tak sendiri.
Fajar di sampingnya, memegang tangan Puji yang dingin tapi pasti. Mereka tak perlu menyembunyikan apa pun lagi.
“Kini senja bukan lagi tentang kehilangan,Tapi tentang pulang,Bukan lagi tentang diam,Tapi tentang keberanian mengucapkan cinta.”
Komentar
Posting Komentar