Langsung ke konten utama

Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan”

  Cerita Pendek:“Cinta di Punggung Penanggungan” ilustrasi foto by https://travelspromo.com/htm-wisata/gunung-penanggungan-mojokerto/ Angin pagi berhembus lembut ketikaA langkahku menginjak tanah Gunung Penanggungan. Kabut tipis melayang di antara pepohonan, dan suara burung liar terasa seperti musik pengiring perjalanan kita. Aku menoleh ke arahmu—kau yang ber?Adiri dengan ransel di punggung, napas teratur, dan senyum kecil yang selalu menenangkan. “Siap?” tanyaku pelan. Kau mengangguk, menatap jalur pendakian yang menanjak. “Selama ada kamu, aku siap menghadapi apa pun.” Kalimat itu mungkin sederhana, tapi bagiku seperti doa yang meneduhkan. Kami mulai mendaki. Setiap langkah membawa kenangan, setiap hembusan napas terasa seperti mendekatkan kami, bukan hanya ke puncak, tapi juga ke hati masing-masing. “Aku selalu suka aroma tanah basah seperti ini,” katamu. “Kenapa?” “Karena… mengingatkanku bahwa setiap perjalanan dimulai dari pijakan. Dan aku ingin perjalanan cintaku ju...

Aku Menyebut Namamu dalam Doa, Sementara Kau Menyebut Namanya di Janji Suci

 

Aku Menyebut Namamu dalam Doa, Sementara Kau Menyebut Namanya di Janji Suci
Ilustrasi foto cerpen Aku Menyebut Namamu dalam Doa, Sementara Kau Menyebut Namanya di Janji Suci 
pngtree.com


Malam itu, doa-doaku masih sama. Aku duduk bersimpuh, menyebut namamu lirih di setiap hembus napas. Aku meminta pada Tuhan, semoga kau selalu sehat, semoga kau bahagia, dan semoga—entah bagaimana caranya—kau kembali padaku.

Tapi pagi berikutnya, kabar yang kudengar menghancurkan segalanya. Kau menikah. Dan nama yang kau sebut dalam janji sucimu… bukan namaku.


Aku datang, meski hatiku remuk. Aku berdiri di antara undangan, melihatmu mengenakan jas hitam dengan senyum yang dulu menjadi alasan aku bertahan. Di sampingmu, dia berdiri anggun, memelukmu dengan mata berbinar.

Dadaku sesak. Dunia seakan runtuh.

Kamu menoleh sekilas, tatapan kita bertemu. Ada jeda di sana, seolah waktu berhenti hanya untuk kita. Tapi kamu cepat mengalihkan pandangan, seakan aku hanyalah bayangan asing.

Aku berbisik dalam hati:

Namamu kusebut dalam doa,  

setiap malam tanpa jeda.

Tapi hari ini aku menyaksikan,

kau sebut nama lain di hadapan Tuhan.


Setelah acara usai, aku mencoba menemuimu. Jantungku berdegup tak terkendali. Dan saat akhirnya kita bertemu di lorong sepi, aku menatapmu dengan mata yang nyaris tak mampu menahan air.

“Kamu benar-benar menikah dengannya?” tanyaku dengan suara yang serak.

Kamu terdiam. Pandanganmu kabur, seolah ada sesuatu yang ingin kau katakan tapi kau menahannya.

“Kenapa… bukan aku?” lanjutku. “Bukankah dulu kau berjanji? Bukankah dulu kau berkata aku adalah rumahmu?”


Kamu menarik napas panjang, lalu menjawab pelan, “Aku memang mencintaimu. Tapi aku juga harus memilih. Dan pilihanku… bukan kamu.”

Aku merasa bumi runtuh di kakiku. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk tanpa ampun.

Aku terisak, menahan luka yang tumpah bersama kalimat:

Aku memeluk doa,

sementara kau memeluk dia.

Aku menyimpan setia,

sementara kau mengucap janji pada nama asing di pelaminan.


“Kamu tahu rasanya bagaimana?” suaraku meninggi. “Menunggu, mendoakan, menjaga cinta ini sendirian, sementara kau malah mengucapkan janji suci dengan orang lain?”

Kamu menunduk, wajahmu dipenuhi bayangan penyesalan. Tapi tetap saja, aku yang hancur.

“Aku tidak pernah ingin menyakitimu,” bisikmu.

Aku tertawa getir. “Tapi nyatanya, kamu menghancurkanku.”


Aku berjalan menjauh, tapi langkahku berat. Kamu menahan pergelangan tanganku. Sentuhanmu masih sama, masih hangat, masih membuatku goyah.

“Aku tidak bisa melepaskanmu sepenuhnya,” katamu lirih.

Aku menatapmu tajam. “Terlambat, kamu sudah melepaskanku ketika kau mengucap janji di hadapan Tuhan dengan menyebut namanya, bukan namaku.”


Sunyi menelan kita. Hanya ada suara detak jantungku yang kacau, dan tatapanmu yang penuh keraguan.

Aku ingin membencimu, tapi cintaku masih terlalu dalam. Aku ingin melupakanmu, tapi doa-doaku masih terlalu sering menyebut namamu.

Dengan suara bergetar aku berbisik:

Andai doa bisa mengubah takdir,

aku ingin menghapus hari ini.

Agar namaku yang kau sebut,

bukan namanya dalam janji abadi.


Aku melepaskan tanganmu perlahan. Kali ini, aku yang memilih pergi. Meninggalkan lorong sempit itu dengan hati yang hancur, namun mencoba tetap tegak.

Dan malam itu, aku kembali bersimpuh dalam doa. Tapi kali ini berbeda. Aku tidak lagi menyebut namamu sebagai harapan. Aku menyebutmu sebagai kenangan yang harus kutinggalkan.

Namun, entah kenapa, hatiku masih bergetar dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab:

Apakah kau benar-benar bahagia menyebut namanya di janji suci itu, sementara kau tahu aku masih menyebut namamu di doa-doaku?

Aku adalah doa yang tak terkabul,

dan kau adalah janji yang terucap pada orang lain.

Tapi cintaku… tetap tinggal,

meski di dunia yang tak lagi sama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung? Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan. Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku. "Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan s...

Puisi:Kenangan di Tepi Meja

Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja Di sudut meja, aroma manis melingkari, Bango kecap manis menemani memori, Di setiap tetes, ada cinta yang menari, Mengingatkan kita pada cerita sejati. Malam itu, rembulan menjadi saksi, Tatapanmu hangat, membalut sunyi, Kecap manis melumuri daging hati, Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti." Kamu selalu tahu, rahasia rasa, Manisnya cinta, bumbu setiap masa, Bango hadir, bagai janji tak sirna, Mengikat kenangan yang tak mudah lupa. Tanganmu mengaduk, aku memandang, Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang, Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang, Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang. Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup, Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur, Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu, Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu. Di setiap rasa, ada kisah kita terselip, Cinta yang manis, tak pernah tergelincir, Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang, Dalam kenangan, ...

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan

Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan ( https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/ ) Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku. Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat. Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup. "Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan. "Kenapa, La? Tumben serius banget,...