Ilustrasi foto cerpen Aku Menyebut Namamu dalam Doa, Sementara Kau Menyebut Namanya di Janji Suci
pngtree.com
Malam itu, doa-doaku masih sama. Aku duduk bersimpuh, menyebut namamu lirih di setiap hembus napas. Aku meminta pada Tuhan, semoga kau selalu sehat, semoga kau bahagia, dan semoga—entah bagaimana caranya—kau kembali padaku.
Tapi pagi berikutnya, kabar yang kudengar menghancurkan segalanya. Kau menikah. Dan nama yang kau sebut dalam janji sucimu… bukan namaku.
Aku datang, meski hatiku remuk. Aku berdiri di antara undangan, melihatmu mengenakan jas hitam dengan senyum yang dulu menjadi alasan aku bertahan. Di sampingmu, dia berdiri anggun, memelukmu dengan mata berbinar.
Dadaku sesak. Dunia seakan runtuh.
Kamu menoleh sekilas, tatapan kita bertemu. Ada jeda di sana, seolah waktu berhenti hanya untuk kita. Tapi kamu cepat mengalihkan pandangan, seakan aku hanyalah bayangan asing.
Aku berbisik dalam hati:
Namamu kusebut dalam doa,
setiap malam tanpa jeda.
Tapi hari ini aku menyaksikan,
kau sebut nama lain di hadapan Tuhan.
Setelah acara usai, aku mencoba menemuimu. Jantungku berdegup tak terkendali. Dan saat akhirnya kita bertemu di lorong sepi, aku menatapmu dengan mata yang nyaris tak mampu menahan air.
“Kamu benar-benar menikah dengannya?” tanyaku dengan suara yang serak.
Kamu terdiam. Pandanganmu kabur, seolah ada sesuatu yang ingin kau katakan tapi kau menahannya.
“Kenapa… bukan aku?” lanjutku. “Bukankah dulu kau berjanji? Bukankah dulu kau berkata aku adalah rumahmu?”
Kamu menarik napas panjang, lalu menjawab pelan, “Aku memang mencintaimu. Tapi aku juga harus memilih. Dan pilihanku… bukan kamu.”
Aku merasa bumi runtuh di kakiku. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk tanpa ampun.
Aku terisak, menahan luka yang tumpah bersama kalimat:
Aku memeluk doa,
sementara kau memeluk dia.
Aku menyimpan setia,
sementara kau mengucap janji pada nama asing di pelaminan.
“Kamu tahu rasanya bagaimana?” suaraku meninggi. “Menunggu, mendoakan, menjaga cinta ini sendirian, sementara kau malah mengucapkan janji suci dengan orang lain?”
Kamu menunduk, wajahmu dipenuhi bayangan penyesalan. Tapi tetap saja, aku yang hancur.
“Aku tidak pernah ingin menyakitimu,” bisikmu.
Aku tertawa getir. “Tapi nyatanya, kamu menghancurkanku.”
Aku berjalan menjauh, tapi langkahku berat. Kamu menahan pergelangan tanganku. Sentuhanmu masih sama, masih hangat, masih membuatku goyah.
“Aku tidak bisa melepaskanmu sepenuhnya,” katamu lirih.
Aku menatapmu tajam. “Terlambat, kamu sudah melepaskanku ketika kau mengucap janji di hadapan Tuhan dengan menyebut namanya, bukan namaku.”
Sunyi menelan kita. Hanya ada suara detak jantungku yang kacau, dan tatapanmu yang penuh keraguan.
Aku ingin membencimu, tapi cintaku masih terlalu dalam. Aku ingin melupakanmu, tapi doa-doaku masih terlalu sering menyebut namamu.
Dengan suara bergetar aku berbisik:
Andai doa bisa mengubah takdir,
aku ingin menghapus hari ini.
Agar namaku yang kau sebut,
bukan namanya dalam janji abadi.
Aku melepaskan tanganmu perlahan. Kali ini, aku yang memilih pergi. Meninggalkan lorong sempit itu dengan hati yang hancur, namun mencoba tetap tegak.
Dan malam itu, aku kembali bersimpuh dalam doa. Tapi kali ini berbeda. Aku tidak lagi menyebut namamu sebagai harapan. Aku menyebutmu sebagai kenangan yang harus kutinggalkan.
Namun, entah kenapa, hatiku masih bergetar dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab:
Apakah kau benar-benar bahagia menyebut namanya di janji suci itu, sementara kau tahu aku masih menyebut namamu di doa-doaku?
Aku adalah doa yang tak terkabul,
dan kau adalah janji yang terucap pada orang lain.
Tapi cintaku… tetap tinggal,
meski di dunia yang tak lagi sama.
Komentar
Posting Komentar