Rinjani, Ketika Langit Jatuh di Pelukan Bumi

Di ujung senja yang malu-malu
di antara desir angin dan rinduku yang membatu,
kulihat kau berjalan perlahan,
gadis berselendang merah,
laksana doa yang dikirim langit lalu dijelmakan
menjadi jelita yang menapaki bumi dengan cahaya di mata.
Langkahmu seirama puisi,
lembut, penuh arti,
seakan semesta diam memandang
dan waktu pun takut berdetak.
Wajahmu bukan sekadar cantik,
tapi candu yang menenangkan,
mata beningmu menampung cahaya langit,
dan senyummu—oh, senyummu—
adalah nyanyian yang bahkan burung pun ingin belajar menyanyikannya.
Kau duduk di bangku taman,
di bawah langit berwarna keemasan,
selendang merahmu menari ditiup angin,
seperti bendera cinta yang berkibar
di kerajaan hatiku yang lama tak bertuan.
Aku, yang selama ini hanya menatap dari kejauhan,
hanyut dalam bayangmu yang memabukkan,
mencari keberanian dalam diam,
menggenggam getar dalam dada yang sempit oleh harap.
Andai aku bisa bicara pada langit,
akan kupinta malam jangan cepat datang
agar aku bisa lebih lama memandangmu,
wahai gadis berselendang merah
yang parasnya mengagumkan dan raganya memahat puisi dalam benakku.
----+-------;------------
Komentar
Posting Komentar